Jumat 22 May 2020 16:34 WIB

Indonesia, Dahulu Negara Eksportir Gula yang Kini Jadi Importir

Defisit pangan secara umum dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Citra Listya Rini
Gula impor menyerbu pasar Indonesia.
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Gula impor menyerbu pasar Indonesia.

EKBIS.CO,  JAKARTA — Ekonom Senior Faisal Basri kembali mengingatkan soal ironi sektor pangan di Indonesia, terkhusus komoditas gula yang menjadi masalah sejak awal tahun. Ia mengatakan, dahulu Indonesia merupakan negara pengekspor gula ternama di dunia namun kini menjadi pengimpor terbesar. 

"Dari zaman kolonial sampai tahun 1967, kita eksportir gula ternama. Sejak 2016, kita menjadi importir terbesar di dunia," kata Faisal dalam diskusi pangan virtual yang diselenggarakan BEM KM IPB, Jumat (22/5). 

Faisal menuturkan, dari tahun 2016 setidaknya Indonesia menghabiskan 2,1 miliar dolar AS untuk mengimpor gula. Tahun 2019, nilai impornya menurun menjadi 1,4 miliar namun tetap secara volume konsisten mengalami kenaikan. 

Ia pun menilai,impor pangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun lebih cenderung menguntungkan para importir dalam sektor gula. "Keuntungan para trader gula rafinasi itu setidaknya Rp 4 triliun," ujarnya. 

Faisal menilai, defisit pangan secara umum dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan pada era Presiden Joko Widodo. Terlebih lagi, impor pangan tak hanya dilakukan pada komoditas gula, namun komoditas lain seperti daging, buah-buahan dan sayuran, serta kedelai.  

Seiring tren impor yang terus meningkat, fluktuasi harga gula nyatanya tetap terjadi. Harga gula yang dikonsumsi masyarakat menjelang Ramadhan lalu sempat tembus hingga lebih dari Rp 17 ribu per kilogram (kg).

Pemerintah pun menempuh berbagai kebijakan, di mulai dari menggolontorkan izin impor dan menerbitkan kebijakan konversi gula rafinasi milik industri untuk menjadi gula kristal putih konsumsi masyarakat. 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada awal pekan ini menyatakan, penyelidikan soal kisruh mahalnya harga gula yang berlarut-larut telah ditingkatkan ke ranah hukum. KPPU menemukan adanya indikasi pelanggaran aturan persaingan usaha antar pengusaha.

"Kami sampaikan, saat ini persoalan gula masuk ke proses hukum, tidak lagi tahap kajian ekonomi," kata Komisioner KPPU, Guntur Saragih. 

Ia menjelaskan, dari hasil kajian KPPU, surat persetujuan impor gula dan realisasinya sudah terjadi. Setidaknya periode Januari - Mei 2020 sudah masuk gula impor sebanyak 450 ribu ton. Namun, harga tetap tinggi bahkan jauh dari patokan harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 per kg.

Menurut Guntur, HET sejatinya sudah memberikan ruang yang besar untuk margin pelaku usaha dalam negeri. Terlebih lagi bagi mereka para importir. Di sisi lain, pemerintah juga sudah memberikan relaksasi bagi gula rafinasi milik industri untuk bisa dikonversi menjadi gula konsumsi sebanyak 250 ribu ton.

"Tapi faktanya harga masih tinggi. Ini bisa berpotensi menjadi alat bukti untuk berikan sanksi ke pelaku usaha terkait jika nanti kami temukan adanya pelanggaran persaingan usaha," kata Guntur.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement