Di bisnis pangan, khususnya fast moving consumer goods (FMCG), Grup Garudafood merupakan salah satu ikon penting. Perusahaan ini dikenal karena kesuksesannya memodernisasi bisnis kacang tanah, dari sisi teknologi pertanian, produksi (pengolahan), hingga pemasaran. Produk kacang tanah yang awalnya komoditas kemudian dibangun brand secara kuat menjadi produk bermerek, Kacang Garuda.
Kesuksesan berbisnis kacang kemudian menjadi pintu masuk bagi Garudafood untuk menggarap bisnis pangan lainnya. Antara lain, snack barbasis cokelat, minuman, biskuit, confectionary, hingga susu.
Garudafood yang awalnya perusahaan kecil dari Pati, Jawa Tengah, kini sudah memiliki 14 pabrik yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Pabriknya antara lain di Gresik (biskuit), Bogor (jelly drink), Pati (dua pabrik kacang), Lampung, Rancaekek, Tangerang, Sidoarjo, Makassar, Pekanbaru, dan Sukabumi.
Kini karyawannya lebih dari 20 ribu orang. PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk. yang go public sejak Oktober 2018 ini mampu membukukan penjualan neto Rp 6,34 triliun hingga 30 September 2019. Tahun sebelumnya, 2018, untuk satu tahun penuh, perusahaan ini meraih penjualan bersih Rp 8,05 triliun.
Sejarah bisnis Garudafood tak bisa dilepaskan dari peran Sudhamek AWS, yang mulai memimpin Garudafood pada 1994. Sebelumnya, Sudhamek berkarier di Grup Gudang Garam sebagai direksi dan sempat meng-go public-kan PT Trias Sentosa Tbk.
Tahun 1994, ia terpanggil untuk ikut membesarkan bisnis keluarga yang dirintis orang tuanya di Pati, Jawa Tengah, pada 1958. Terobosan penting kemudian dilakukannya, antara lain memodernisasi produksi dan pemasaran, membangun kanal distribusi baru, memperkuat sourcing bahan baku, dan melakukan profesionalisasi manajemen bisnis keluarga.
Di lini distribusi, misalnya, untuk mulai menancapkan pemasaran, tahun 1994 Garudafood mendirikan anak usaha baru khusus di bidang distribusi, PT Sinar Niaga Sejahtera. Di bidang modernisasi manajemen bisnis keluarga, Sudhamek merekrut eksekutif profesional dari berbagai perusahaan besar.
Rekrutan terpentingnya, Hartono Atmaja dan Hardianto Atmaja, dua keponakannya yang sebelumnya bekerja di grup besar. Keduanya diminta masuk dan ikut membesarkan bisnis keluarga. Hartono ditugaskan mengurusi sisi produksi dan manufacturing (kini CEO holding), sedangkan Hardianto (kini CEO Garudafood) mengurusi pemasaran dan distribusi.
Di bisnis yang terkait pengolahan kacang, prestasi penting Garudafood yaitu dalam membangun rantai pasok dengan menggandeng dan memberdayakan petani kacang di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, karena kebutuhan kacang per tahun di atas 65.000 ton. Petani kacang yang terkadang hasil produksinya tidak tertampung dengan baik, kini mendapatkan pasar yang pasti. Di NTB, misalnya, tak kurang dari 8.000 petani kacang tanah diberdayakan dalam rantai pasok Garudafood.
Sudhamek menjelaskan, pihaknya memang berusaha menjadi pemain industri pangan yang banyak melakukan kemitraan. Termasuk, dengan UMKM yang punya produk bagus. “Kami bersyukur karena kami dilihat sebagai pemain yang tidak menakutkan sehingga mereka ingin berpartner dengan kami,” katanya.
Bisnis pangan, menurut Sudhamek, merupakan industri yang selalu akan dibutuhkan. “Bisa dibilang industri makanan ini too perennial industry, industri yang abadi,” ujarnya. Memang, di industri pangan tidak akan terjadi pertumbuhan yang melonjak di luar dugaan, tetapi juga tidak sampai turun drastis. Ini berbeda dengan bisnis komoditas yang hari ini bisa tertawa terbahak, tetapi besok bisa menangis sedih. “FMCG, utamanya makanan dan minuman, cenderung stabil, selalu dibutuhkan masyarakat,” katanya. Namun, tetap butuh kesiapan untuk selalu berubah dan berkembang.
Sudhamek meyakini, tiap industri memiliki industry key success factor (IKSF). Khusus industri makanan dan minuman, IKSF-nya ada empat hal, setidaknya itu berdasarkan pengalamannya memimpin perusahaan Garudafood. “Yakni, IKSF bidang penguasaan terkait know how dan teknologi, penguasaan distribution network, membangun brand equity, serta innovation dalam artian luas,” katanya. Keempat hal inilah yang menurut Sudhamek dikelola dengan baik di Garudafood sehingga produk-produknya bisa menjadi pemimpin pasar.
“Di awal 1990-an kami bahkan ekspansi hingga ke luar Jawa ketika perusahaan lain menutup perusahaan distribusinya. Kami meyakini bahwa distribution is our key,” Sudhamek memberi contoh. Kemudian, soal branding, secara konsisten Garudafood membangun mereknya, seperti merek Chocolatos, Gery, Garuda, Leo, dan Clevo. Termasuk, merek Okky Jelly, yang sudah dikerjasamakan dengan Grup Suntory. Garudafood selalu aktif membangun brand di berbagai media untuk menancapkan ekuitas merek-mereknya.
Sudhamek yakin bahwa bisnis pangan (processed F&B) ini tetap menarik. Market size-nya besar, sekitar Rp 205 triliun per tahun, dan tetap tumbuh dalam kondisi apa pun. Namun, ia selalu berpesan, semua hal harus diperhatikan karena saat ini bisnis semakin unpredictable dengan penetrasi teknologi digital. “Dengan adanya e-commerce, kompetisi semakin keras dan virtual, menjadi tidak terdeteksi,” katanya.
Ia menyebutkan, GoFood atau GrabFood sekarang menjadi pesaing kuat penyedia makanan snack. Dugaannya, GoFood dan GrabFood omsetnya akan mencapai Rp 35 triliun-40 triliun dalam waktu singkat. Kehadiran food delivery yang didukung teknologi digital ini, menurutnya, mendorong perubahan perilaku konsumen dalam hal snacking, yang sebelumnya ngemil makanan kecil kemasan, kini memilih fresh food (dimasak saat itu lalu diantar). “Anak-anak milenial itu bisa pesan tengah malam dengan adanya layanan digital pesan-antar ini,” ujar Sudhamek yang kini menghabiskan 60% waktunya untuk membantu Pemerintaham Joko Widodo dan 40% untuk mengurusi bisnis keluarga.
Melihat perubahan tersebut, menurut Sudhamek, tidak ada cara lain kecuali berkolaborasi. Misalnya, Garudafood berkolaborasi dengan Tokopedia. Ia menyebutkan, kini dengan teknologi digital juga muncul gerai-gerai baru seperti Bluemart yang merupakan food vending machine. Bagi pemain ritel konvensional, pendatang baru tersebut jelas menjadi ancaman. “Mereka tidak bisa dilawan, kita harus ride the wave,” katanya tandas.
Garudafood pun tetap mencermati perkembangan itu karena merupakan key success factor yang ada dalam IKSF. Jumlah pemain pangan juga makin banyak. “Perusahaan raksasa yang dulu tidak masuk ke bisnis makanan dan minuman, sekarang beramai-ramai ikut masuk. Artinya, competitive landscape-nya semakin keras,” katanya.
Sudhamek memberi contoh lain, soal jaringan distribusi, pihaknya tidak bisa lagi mempertahankan hanya sebagai perusahaan distribusi, tetapi model bisnisnya berubah menjadi perusahaan logistik. “Kami lalu mengambil langkah, jika tidak bisa dikerjakan sendiri, ya kolaborasi,” katanya tegas. Dalam membangun kemitraan, Garudafood menerapkan “value chain based partnership” atau kemitraan yang berbasis pada rantai nilai. Ini biasanya terkait bahan baku, produksi, dan distribusi.
Ketika Garudafood akan menghasilkan produk tertentu tetapi tidak masuk kalkulasinya, biasanya akan mencari partner untuk mengerjakannya bersama. Sementara itu, di bidang rantai pasok, untuk mewujudkan level pelayanan yang tinggi, produk yang enak, cepat, dan murah, Garudafood juga menggandeng mitra. Misalnya, pada produk-produknya yang berbasis cokelat, menggandeng Barry Callebout, produsen cokelat dunia, untuk menjadi pemasok utama Garudafood dalam kerjasama yang eksklusif.
Ke depan, Sudhamek akan tetap mendorong Garudafood agar terus berkembang di bisnis pangan. “Bisnis pangan ini habitat saya, passion saya memang di bisnis pangan,” katanya menandaskan. Walaupun ia dan anak-anaknya kini mulai masuk ke bisnis sumber daya alam dan energi terbarukan, ia merasa “rumahnya” tetap di bisnis pangan. “Bagi saya, bisnis pangan ini tetap bisnis yang sangat menarik,” ujar Sudhamek. (*)
Sudarmadi/Herning Banirestu