EKBIS.CO, JAKARTA -- Rata-rata harga gula masih tetap mahal di tingkat konsumen. Pusat Informasi Harga Pangan Nasional (PIHPS) menyebutkan, sejak awal April hingga Juni mencatat fluktuasi harga di kisaran Rp 17 ribu - Rp 18 ribu per kilogram (kg), jauh di atas HET Rp 12.500 per kg.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, berpendapat, pemerintah perlu mngevaluasi pengurusan izin impor untuk gula. Dia menilai, regulasi impor untuk komoditas pangan berbeda satu dengan lainnya. Namun, ada beberapa kesamaan yang berhubungan dengan rekomendasi dan izin impor.
"Hal inilah yang perlu dievaluasi mengingat banyaknya prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan izin impor," kata Felippa dalam pernyataan resmi CIPS, Kamis (4/6).
Secara umum, untuk bisa mengimpor suatu bahan pangan, importir dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir (API), harus mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Selanjutnya, untuk mendapat SPI, importir wajib mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian (Kementan) setelah memenuhi berbagai persyaratan, seperti bukti kepemilikan gudang berpendingin (cold storage) atau fasilitas lainnya. Untuk beberapa komoditas, importir juga harus mendapat rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Setelah itu, baru dilakukan transaksi.
"Sementara untuk gula, prosedur impor berbeda untuk gula rafinasi, gula mentah, dan gula kristal putih. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14 Tahun 2020," kata Felippa.
Gula kristal putih hanya bisa diimpor oleh BUMN setelah mendapat penugasan dan kuota dari Kemenko Perekonomian. Proses ini dapat berlangsung dalam waktu yang tidak sebentar karena proses impor yang dilakukan oleh BUMN membutuhkan persetujuan lewat rapat terbatas atau rapat koordinasi.
Sementara gula rafinasi, hanya bisa diimpor industri untuk bahan baku sendiri berdasarkan surat rekomendasi dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Rekomendasi ini didapat setelah importir menyerahkan beberapa persyaratan, seperti laporan rencana produksi, laporan realisasi dan laporan pemakaian.
Selain itu, kata dia, industri juga harus membuat surat pernyataan untuk tidak memasukkan gula mentah atau gula rafinasi ke pasar dalam negeri.
Terakhir, importir umum hanya dapat mengimpor gula mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih oleh pabrik gula di Indonesia. Penentuan jumlah gula mentah yang dapat diimpor juga disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga.
Setelah transaksi, lanjut Felippa, importir harus mendapatkan Laporan Surveyor (LS) mengenai komoditas yang diimpornya sebagai dokumen kelengkapan kepabeanan. Setelah komoditas yang diimpor masuk ke Indonesia, ia masih harus melewati pemeriksaan dari BPOM dan bea cukai. Semua proses ini dapat berlangsung dalam waktu yang tidak singkat, antara satu hingga tiga bulan.
Panjangnya proses ini, kata dia, tidak jarang dapat membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengimpor saat harga internasional sedang murah. Kalau dikaitkan dengan pandemi Covid-19, Indonesia tentu tidak menyangka negara-negara sumber impor gula, sepert India, sudah membatasi bahkan melarang adanya kegiatan ekspor akibat adanya kebijakan karantina wilayah atau lockdown.
"Kalau prosesnya lebih sederhana, realisasi impor gula tentu akan lebih cepat dan harga akan tetap stabil,” katanya.
Ia menuturkan, pergerakan harga sebaiknya dapat dijadikan sebagai parameter ketersediaan komoditas pangan di pasar. Kenaikan harga beberapa komoditas pangan sejak awal tahun lalu semestinya menjadi indikator diperlukan tambahan impor.