EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan meminta pemerintah menjelaskan skema Program Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera. Pasalnya, program tersebut tak justru memberatkan rakyat.
Syarief mengatakan, iuran ini akan berlangsung dalam jangka waktu lama sehingga berpotensi menjadi dana jumbo. "Pemerintah harus menjelaskan mekanismenya,” kata Syarief Hasan saat dikonfirmasi Republika melalui keterangannya, Jumat (5/6).
Sebagaimana diketahui, melalui Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2020 pemerintah akan memotong gaji pegawai negeri maupun swasta sebesar 3 persen sebagai iuran Tapera. Namun program ini menuai protes karena di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu akibat pandemi Covid-19,
Syarief juga mempertanyakan ihwal pekerja swasta yang terkena PHK di tengah pandemi Covid-19 ini. Termasuk bagaimana dengan pegawai yang sudah memiliki rumah. “Lalu dananya untuk apa?” tanya Syarief Hasan.
Seperti diketahui, selain pegawai dan karyawan, pengusaha juga merasa dirugikan dengan pemotongan ini. Sebab, pengusaha harus menanggung 0,5% potongan gaji tiap pegawainya. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan program
Tapera dinilainya akan memberatkan pengusaha kecil dan menengah yang sedang berjuang untuk menjaga stabilitas usaha di tengah pandemi Covid-19. Program ini tidak selaras dengan niat pemerintah untuk melakukan pemulihan ekonomi nasional. Apindo sebagai perkumpulan atau asosiasi pengusaha di Indonesia dengan tegas menolak program ini.
Menurut Syarief Hasan, kebijakan Tapera belum urgent dilakukan saat ini ketika rakyat masih kesulitan hidup karena pandemi Covid-19.
“Tabungan perumahan bisa dilakukan dengan model lain tanpa harus memotong gaji pegawai dan memberatkan pengusaha kecil menengah. Belum lagi gaji pegawai mendapatkan banyak potongan. Seperti potongan iuran BPJS yang dinaikan pemerintah mau tidak mau mengganggu keuangan pegawai,” katanya.
Eks Waketum Demokrat ini juga menyebutkan mayoritas pegawai menggunakan gaji mereka untuk memenuhi kebutuhan primer seperti konsumsi sehari-hari dan pendidikan anak. Jika gaji pegawai dipotong untuk iuran Tapera, sementara harga kebutuhan pokok makin melambung maka kondisi ini akan menekan keuangan masyarakat.
Syarief Hasan mengingatkan bahwa dana Tapera adalah dana jumbo. Karena itu Badan Pengelola Tapera harus transparan dan meninggalkan gaya lama dalam pengelolaan dana besar. “Ada biaya untuk direksi, pengawas, dan pegawai sehingga pengelolaan dana ini juga sangat rawan,” tuturnya.
Pemerintah, lanjut Syarief Hasan, juga perlu memperhatikan inflasi property. Sebab, sektor property mencatat inflasi paling tinggi dibanding sektor lainnya. Apalagi konsep Tapera adalah konsep jangka panjang yang dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan harga rumah naik berlipat-lipat. “Pemerintah perlu memperhitungkan hal ini. Jangan pemerintah kembali menaikkan iurannya dengan alasan inflasi pada property,” ujarnya.
Syarief Hasan pun meminta kepada pemerintah untuk melakukan koordinasi di antara lembaga-lembaga yang menyediakan pembiayaan perumahan sehingga tidak terjadi tumpang tindih program. Misalnya, program manfaat layanan tambahan (MLT) dari BP Jamsostek yang juga memberikan fasilitas pembiayaan rumah dan uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Ada juga program Pinjaman Uang Muka (PUM) KPR tanpa bunga bagi TNI, Polri, PNS, Kementerian Pertahanan, dan PNS Polri oleh PT Asabri melalui pemotongan Tabungan Hari Tua (THT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Nilai Tunai Iuran Pensiun (NTIP).
“Jangan ada tumpang tindih program yang pada akhirnya menghambat dan merugikan masyarakat yang menerima berbagai potongan gaji dan berimbas pada kualitas kesejahteraan rakyat,” kata dia.