EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemanfaatan lahan sagu untuk dibudidayakan menjadi penghasil pangan lokal bagi masyarakat saat ini tergolong minim. Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, luasan area yang dimanfaakan baru sekitar 314 ribu hektare (ha) dari total potensi pengembangan seluas 5,5 juta ha.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementan, Heru Tri Widarto, mengatakan dengan luasan area yang dimanfaatkan itu, produksi sagu tahunan berkisar 465 ribu ton. Karena itu, potensi pengembangan sagu di Indonesia masih sangat luas.
"Sagu sudah menjadi sumber pangan alternatif karbohidrat sejak zaman dahulu. Karena kebutuhan beras makin meningkat, sagu bisa menjadi alternatif yang menggantikan beras," kata Heru dalam Webinar Webinar Pembangunan Industri Berbasis Sagu Terpadu dan Berkelanjutan yang diselenggarakan IPB University, Selasa (16/6).
Ia menjelaskan, dari sisi produktivitas, sagu cukup tinggi. Satu pohon bisa menghasilkan 200 - 400 kilogram (kg) pati. Dari sisi kandungan energi juga tidak jauh dari beras. Sagu bisa menghasilkan 353 kilo kalori (kkal) sementara nasi menghasilkan 360 kkal.
"Jadi dari sisi nutrisi bagus, kesehatan juga baik karena bebas gluten," katanya menambahkan.
Dari segi harga, rata-rata sagu basah dihargai Rp 15.153 per kg dan sagu kering Rp 4.140 per kg. Meski memiliki prospek yang bagus, Heru menuturkan, 96 persen budidaya sagu dilakukan oleh pekebun rakyat dan sisanya oleh perusahaan swasta.
Alhasil, produktivitas sagu dari tahun ke tahun cenderung stagnan. Pada 2019 rata-rata produktivitas hanya 3,5 ton per ha, naik tipis sejak 2016 silam yang berada pada posisi 3,4 ton per ha.
Melihat proporsi pengusahaan sagu yang belum banyak disentuh perusahaan pihaknya tengah menyusun grand design pengembangan sagu nasional yang bisa dijadikan pedoman untuk para industri.
Dewan Guru Besar IPB University, Ervizal Zuhud, mengatakan, perlu dukungan politik pemerintah untuk bisa membangkitkan industrialisasi sagu dan menjadikan sagu sebagai pangan pokok lokal kembali. Selama ini, menurut dia, pengembangan pangan lokal justru kerap kali terhadang oleh persoalan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara yang disusun setiap tahun.
Para ahli maupun lembaga gizi juga perlu menjelaskan kepada publik bahwa sagu jauh lebih baik daripada nasi. Tanpa ada langkah yang masif, sulit untuk mengurangi beban beras dan impor pangan pokok setiap tahun.
Di sisi lain, universitas yang terletak di dekat kawasan budidaya sagu wajib untuk membangun sumber daya manusia demi memajukan iptek tentang sagu. "Di mana universitas yang dekat dengan sagu, kasih mandat supaya ini betul-betul ditangani secara sistematis, bukan sebatas by accident," katanya.