EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan penurunan konsumsi beras nasional hingga lima tahun ke depan sebesar 7 persen. Penurunan itu diupayakan agar masyarakat dapat beralih ke komoditas pangan lokal lainnya yang mulai mendapatkan perhatian pemerintah.
Mengutip data Kementan, khusus tahun 2020 lalu rata-rata konsumsi beras ditargetkan turun ke posisi 92,9 per kg per kapita per tahun dari posisi tahun lalu sebesar 94,9 per kg per kapita per tahun. Hingga tahun 2024 mendatang, ditargetkan konsumsi sudah turun 7 persen ke posisi 85 per kg per kapita per tahun.
Penurunan itu setara 1,77 juta ton senilai Rp 17.78 triliun. Namun dengan catatan, penurunan konsumsi beras bisa dicapai asalkan ada intervensi dari pemerintah. Tanpa intervensi, turunnya konsumsi beras hanya mampu mencapai posisi 91,2 per kg per kapita per tahun.
"Kami targetkan ada satu penurunan pangan beras kita dan itu harus diikuti dengan kenaikan konsumsi pangan lokalnya," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementan, Agung Hendriadi, dalam virtual seminar Diversifikasi Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan, dikutip Republika.co.id, Jumat (3/7).
Agung menuturkan, negara-negara lain juga terus mengalami penurunan konsumsi beras. Sebagai gambaran, Thailand saat ini berada di kisaran 80 kg per kapita per tahun serta Jepang 60 per kg per kapita per tahun. Karena itu, menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan lokal menjadi keharusan bagi Indonesia.
Berdasarkan pemetaan setidaknya terdapat enam komoditas pangan lokal yang diandalkan. Yakni jagung, pisang, ubi kayu, kentang, sagu, dan talas. Keenam komoditas itu kurun waktu 2015-2019 mengalami stagnasi konsumsi. Sementara, tren produksi perlahan meningkat.
Berkaca dari kondisi tersebut, Agung menilai masih terdapat kesempatan besar untuk menaikkan konsumsi terhadap komoditas pangan lokal. "Sebenarnya (komoditas) ini bukan hal yang baru, karena itu sudah menjadi alternatif pangan pokok dan sudah diterima masyarakat," katanya.
Karena itu, seiring target penurunan konsumsi beras 7 persen, wajib diikuti dengan kenaikan enam komoditas itu sebesar 7 persen pula. Kementan, kata Agung, juga sudah menyiapkan peta jalan diversifikasi pangan 2020-24 untuk meningkatkan produksi enam komoditas tersebut.
Tahun 2020-2021 pihaknya fokus dalam penyediaan benih/bibit unggul, pupuk dan pendampingan petani. Diikuti dengan mempertahankan areal tanam dan menambah areal baru. Kementan, kata dia, juga sudah mengkampanyekan gerakan tidak mengkonsumsi beras atau nasi satu hari dalam satu bulan sekaligus kampanye ke masyarakat dan industri hotel, restoran, dan katering agar menyediakan pangan lokal.
Memasuki tahun 2022-2023, fokus tetap pada penyediaan benih/bibit unggul, penyediaan alat pasca panen, serta kampanye dan sosialisasi yang terus dilakukan. Adapun pada tahun 2024 mendatang, produktivitias dari masing-masing enam komoditas itu diharapkan sudah naik.
Produktivitas ubi kayu minimal mencapai 40 ton per hektare, kentang 35 ton per hektare, sagu 5 ton per ha, talas 10 ton per hektare. Selanjutnya, tersedia pula area tanam pisang 2.148 hektare di empat provinsi dan tersedianya area tanam jagung untuk pangan seluas 8.103 hektare.
"Kami sudah punya mapping rencana pengembangan di setiap provinsi. Minimal ada satu komoditas yang diandalkan," katanya.
Sementara itu, CEO The Indonesia Green Financial and Investment Institute (TIGFII), Sunny Reetz, mengatakan, tantangan terbesar yang dihadapi yakni pertumbuhan populasi penduduk yang diprediksi tembus 321,4 juta jiwa pada 2050 mendatang. Karena itu, menjadi tugas bersama sejak saat ini memastikan pangan tersedia dan aman serta dengan harga terjangkau.
Sunny mengatakan, diversifikasi pangan lokal sejatinya adalah alat untuk mencapai target yang lebih besar. Yakni membangun sistem pertanian berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga memperkuat ketahanan pangan dengan optimalisasi lahan.
Momentum Covid-19 yang mengancam krisis pangan, menurut Sunny, pun memberikan berkah tersendiri karena memacu semua pihak untuk kreatif dan inovatif serta berusaha untuk keluar dari zona nyaman. Hal itu pula yang pada akhirnya mendasari bahwa upaya diversifikasi pangan harus dimulai dengan dukungan dan kemauan pemerintah.