EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, nilai aset yang dimiliki negara mengalami kenaikan 65 persen menjadi Rp 10.467 triliun setelah proses revaluasi. Meski naik, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu Isa Rachmatarwata menekankan, pemerintah tidak akan menjual atau menyerahkan aset itu hanya untuk tujuan menutupi utang.
Isa menyebutkan, aset-aset berupa Barang Milik Negara (BMN) yang dimiliki negara bisa saja dijual ke pihak lain untuk menambal utang pemerintah. Tapi, sampai saat ini, pemerintah tidak berniat melakukannya. "Kalau mau obral ya dengan cara jual aset, tapi kita nggak mau melakukan itu," ucapnya dalam media briefing secara online, Jumat (10/7).
Isa menambahkan, pemerintah menggunakan metode lain untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus menjual aset. Cara tersebut adalah sekuritisasi aset, yakni dengan memanfaatkan BMN sebagai aset yang menjadi dasar penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Hasil penerbitannya dapat digunakan sebagai sumber anggaran kegiatan negara, termasuk terkait penanganan Covid-19.
Seiring dengan kenaikan nilai aset, Isa mengatakan, potensi penerbitan Sukuk akan semakin besar. Ia memberikan contoh, apabila dulu untuk SBSN senilai Rp 1 triliun dibutuhkan 100 item aset, kini mungkin saja hanya butuh 50 sampai 75 aset sebagai underlying dengan nilai SBSN yang sama. "Optimalisasinya kita coba tingkatkan," kata Isa.
Hanya saja, Isa menjelaskan, kebijakan tersebut tetap harus memperhatikan aspek lain. Khususnya mengenai kemampuan pasar untuk menyerap SBSN, terutama di tengah tekanan akibat pandemi Covid-19.
Pemerintah kini juga memiliki skema baru pemanfaatan BMN, yakni kerjasama terbatas untuk pembiayaan infrastruktur atau kerap disebut Limited Concession Schemes (LCS). Skema ini telah disampaikan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Melalui skema LCS, Isa mengatakan, pemerintah memberikan konsesi dengan jangka waktu tertentu kepada badan usaha untuk mengoperasikan dan/ atau mengembangkan infrastruktur yang sudah tersedia. Badan usaha tersebut harus membayar di muka kepada pemerintah sebelum melakukan pengembangan.
"Bukan asetnya yang diserahkan, tapi pengelolaan dan hak pendapatan yang bisa didapatkan dari aset tersebut (yang diserahkan ke pihak lain)," tuturnya.
Direktur Barang Milik Negara (BMN) DJKN Kemenkeu Encep Sudarwan mengatakan, pembayaran oleh badan usaha di muka itu dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur di tempat lain. Dampaknya, pembangunan bisa lebih merata.
Saat ini, DJKN Kemenkeu bersama pihak terkait masih menyusun detail penerapan LCS di infrastruktur Indonesia. Sebelumnya, pemerintah telah berkonsultasi dengan Bank Dunia maupun konsultan dari Australia yang memang ahli terkait LCS dan asset recycle.
Bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, DJKN Kemenkeu juga melakukan sosialisasi ke Kementerian/ Lembaga lain. "Sekarang kita petakan, BMN milik K/L mana saja yang bisa diikutkan dalam LCS. Sekarang baru tahap inventarisasi, sambil kita siapkan aset dan mekanismenya," ujar Encep.
Encep menjelaskan, skema LCS bisa digunakan di banyak jenis infrastruktur seperti bandara maupun pelabuhan. Banyak negara sudah menerapkan LCS seperti di Turki (Bandara Atarturk, Istanbul) dan Amerika Serikat (Luiz Munoz Airport, Puerto Rico, serta Chicago Skyway and Parking Garages).