EKBIS.CO, JAKARTA -- SKK Migas berupaya untuk bisa mencari penyerap gas dari proyek Lapangan Abadi, Blok Masela. Meski penuh tantangan, namun SKK Migas menilai masih ada peminat gas dari 'lapangan abadi' ini.
Kepala SKK Migas, Dwi Sucipto menjelaskan salah satu pembeli gas Blok Masela yang sudah mengirimkan sinyal untuk menyerap gas Blok Masela adalah CPC Taiwan. Ia menjelaskan pihak CPC Taiwan sudah menyatakan minat untuk membeli gas dari Blok Masela.
“Mungkin sudah di atas 50 persen, yang ada peminatan orang yang bersifat Memorandum of Understanding (MoU) atau bersifat Letter of Intent (LoI),” ungkap Dwi di Kementerian ESDM, Kamis (30/7).
Untuk pasar dalam negeri, SKK Migas sudah menyatakan bahwa PT PLN (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) akan menjadi konsumen utama untuk gas Blok Masela. Tinggal masalah volume gas yang harus disepakati. Selanjutnya SKK Migas masih harus memasarkan LNG ke pasar internasional.
Inpex Masela Ltd, anak usaha Inpec Corporation selaku Kontraktor Kontra Kerja Sama (KKKS) telah menandatangani nota kesepahaman dengan PLN dan PT Pupuk Indonesia untuk mensuplai kebutuhan gas kedua perusahaan dalam negeri tersebut dari gas Masela.
Melalui nota kesepahaman nantinya akan dibahas supply LNG ke pembangkit listrik tenaga gas yang dioperasikan oleh PLN dan gas alam sebesar 150 juta standard kaki kubik per hari (mmscfd) untuk kilang co-production yang akan dibangun PT Pupuk Indonesia.
Blok Masela sendiri rencananya memiliki fasilitas pengolahan dan produksi LNG dengan kapasitas 9,5 Metrik Ton Per Annum (MTPA) atau 9,5 juta ton LNG per tahun. Serta mampu memproduksi gas pipa dengan kapasitas mencapai 150 mmscfd.
Proses pencarian pembeli gas Masela ini sangat krusial karena jadi syarat untuk memperoleh kepastian pendanaan atau Final Investment Decision (FID).
Tumbur Parlindungan, praktisi migas yang juga mantan presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), sebelumnya mengatakan untuk menjalankan proyek sebesar proyek Abadi maka diperlukan kepastian kontrak atau pembeli dengan kontrak jangka panjang. Jika tidak maka akan sulit perbankan yang mau mendanai proyek yang diperkirakan membutuhkan investasi mencapai 20 miliar dolar AS. “Harus ada long term contract, baru dia masuk FID,” kata Tumbur.
Hanya saja pasokan gas dunia saat ini dalam kondisi kelebihan suplai. Ini tentu dilatarbelakangi oleh beberapa faktor mulai dari menurunnya permintaan hingga adanya pesaing utama dari gas yakni shale gas di Amerika Serikat yang memiliki harga jauh lebih murah ketimbang harga LNG.
Di sisi lain proyek Masela menyedot biaya yang tidak sedikit sehingga akibatkan harga gasnya sekitar 7-9 dolar AS per MMBTU pun masih tinggi dan sulit bersaing dengan shale gas atau bahkan dengan harga LNG dari sumber lainnya. Inilah yang membuat sulit untuk bisa mendapatkan pembeli dengan kontrak jangka panjang sebagai syarat untuk FID.
“Kalau asumsi saya dengan kondisi saat ini menurut asumsi saya 2027 paling cepat FID. Menurut saya itu paling cepet. karena gasnya masih over supply sampai 2026. kalau FID 2027, operasinya 2030 something,” kata Tumbur.