EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) telah meluncurkan enam proyek baru untuk mendukung produksi dan perdagangan kayu legal di Indonesia. Hibah tersebut, bernilai sekitar 550 dolar AS, diperoleh dari Uni Eropa (UE), Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Swedia, dan Departemen Pembangunan Internasional Inggris Raya, mitra FAO dalam mempromosikan produksi dan perdagangan kayu yang berkelanjutan dan legal.
Proyek-proyek baru ini akan memungkinkan para pemangku kepentingan sektor kehutanan Indonesia untuk mencapai tujuan legalitas yang ditetapkan dalam Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) antara UE-Indonesia, yang ditandatangani sebagai bagian dari Rencana Aksi UE untuk Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola, dan Perdagangan (FLEGT).
Tindakan nyata tetap penting pada saat tekanan meningkat, dan kapasitas pengawasan berkurang terutama pada pemanfaatan sumber daya hutan di tengah pandemi global yang sedang berlangsung.
Produksi dan perdagangan kayu legal dan berkelanjutan di Indonesia bertumpu pada penerapan sistem penjamin legalitas kayu nasional, atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang melacak produk kayu dari hutan di seluruh rantai pasokan. Pada tahun 2016 Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan lisensi FLEGT untuk produk kayu yang diekspor ke UE.
Proyek-proyek, yang dilaksanakan melalui Program FAO-EU FLEGT, akan merintis cara-cara baru dan inovatif untuk memungkinkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) agar lebih memenuhi standar SVLK, dan untuk memperluas jangkauan dan efektivitas pemantauan hutan independen di lapangan.
"Mitra kami akan mengeksplorasi pelaksanaan SVLK di tingkat kabupaten dan memperkuat peran Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam melaksanakan dan memantau SVLK. Hal ini menggambarkan bagaimana UE dan mitranya ingin meminimalkan beban pada operator Indonesia, terutama yang terkecil, dengan mempertahankan atau lebih meningkatkan kontrol rantai kayu berkolaborasi dengan otoritas nasional dan jajaran pemerintah kabupaten kota ” kata Michael Bucki, Konselor Perubahan Iklim & Lingkungan - Delegasi UE untuk Indonesia, dalam siaran persnya.
Program FAO-EU FLEGT juga akan membantu penggergajian skala kecil untuk mengembangkan sistem yang hemat biaya. Sistem ini juga layak secara komersial untuk melacak kayu yang masuk dan keluar dari masing-masing penggergajian, sejalan dengan persyaratan SVLK. Transparansi dan tata kelola partisipatif sistem Indonesia (SVLK) sudah menjadi teladan di banyak tingkatan, dan terus membaik. Mitra perdagangan internasional memperhatikan. Masyarakat dan ekosistem diuntungkan.
Penerapan SVLK telah membawa manfaat ekonomi yang cukup besar bagi Indonesia sekaligus memperkuat praktik pengelolaan hutan lestari. Angka menunjukkan bahwa ekspor kayu Indonesia telah terus meningkat sejak penerapan SVLK. Pemantau Pasar Independen FLEGT (IMM) menyebutkan pada tahun 2013, nilai ekspor kayu Indonesia adalah 6 miliar dolar AS; pada tahun 2019, angkanya hampir dua kali lipat, yaitu 11,6 miliar dolar AS, dengan UE menguasai 9 persen pasar.
Untuk mempertahankan perbaikan tata kelola hutan, Program FAO-EU FLEGT akan terus memperkuat pemantauan independen yang dilaksanakan oleh masyarakat sipil di Indonesia. Hal ini menjamin adanya pembiayaan berkelanjutan untuk Pemantau Hutan Independen, memperluas kegiatan pemantauan di lapangan dan memperkuat peran masyarakat adat dan komunitas lokal.
Membangun ketahanan
Pada saat kerentanan meningkat karena adanya pergeseran pola perdagangan global, penggunaan sumber daya hutan yang legal dan berkelanjutan akan membantu memastikan bahwa hutan dikelola dengan baik. Sektor kehutanan memberikan peluang mata pencaharian yang lebih banyak dan lebih baik dalam fase pemulihan ekonomi pasca Covid-19.
“FAO bangga mendukung Indonesia dan UE untuk memastikan bahwa komitmen legalitas kayu tetap terjaga dan diperkuat terutama dalam menghadapi krisis global,” kata Bruno Cammaert, Pejabat Kehutanan FAO.
Menjaga biaya produksi dan pemeliharaan seminimal mungkin akan memastikan bahwa produksi dan perdagangan legal menarik secara ekonomi. Pemerintah Indonesia akan mencari cara untuk menyederhanakan standar SVLK untuk UMKM termasuk memberikan subsidi pelaksanaan audit pertama yang diperlukan untuk mendapatkan sertifikasi SVLK, lisensi tanpa kertas, sistem informasi terintegrasi, dan opsi untuk deklarasi sendiri menggunakan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP), dan sertifikasi grup.
Pengalaman Indonesia menunjukkan betapa kuat dan berkelanjutannya kemauan politik, ditambah dengan keterlibatan sektor swasta dan masyarakat sipil yang diterjemahkan ke dalam pengelolaan dan perdagangan hutan yang lebih baik. Survei terbaru yang dilakukan oleh Center for International Forest Research (CIFOR) menegaskan bahwa peningkatan pangsa kayu legal di pasar ekspor, serta peningkatan produksi kayu nasional yang dipanen dengan izin yang diperoleh secara legal, secara langsung dikaitkan dengan proses VPA.
“Kami senang untuk terus melengkapi komitmen teguh Indonesia terhadap produksi dan perdagangan kayu legal, dengan memberikan dukungan lebih lanjut kepada pemangku kepentingan lokal pada saat yang sulit ini,” kata Daphne Hewitt, Manajer Program FAO-EU FLEGT.
Sejak dimulainya Tahap III pada tahun 2016, Program FAO-EU FLEGT telah mendukung 17 proyek di Indonesia dengan nilai sekitar 1,8 juta dolar AS, terutama berfokus pada mendukung UMKM, memperkuat pelaksanaan SVLK, dan melakukan pemantauan hutan independen.