Jumat 21 Aug 2020 21:55 WIB

CIPS: Tekan Dampak Covid-19, RI Harus Capai Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan dapat dicapai dengan menjamin ketiga komponen.

Rep: dedy darmawan nasution/ Red: Hiru Muhammad
Petani memanen padi di sebuah sawah di samping gedung sekolah dan perkantoran di Paron, Ngawi, Jawa Timur, Senin (3/8/2020). Dinas pertanian setempat mencatat luas lahan pertanian di kawasan lumbung padi tersebut berkurang dari 50.550 hektare menjadi 50.197 hektare karena beralih fungsi menjadi perumahan, industri dan infrastruktur sehingga berdampak pada menurunnya produksi gabah dan dikhawatirkan mengganggu tingkat ketahanan pangan.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Petani memanen padi di sebuah sawah di samping gedung sekolah dan perkantoran di Paron, Ngawi, Jawa Timur, Senin (3/8/2020). Dinas pertanian setempat mencatat luas lahan pertanian di kawasan lumbung padi tersebut berkurang dari 50.550 hektare menjadi 50.197 hektare karena beralih fungsi menjadi perumahan, industri dan infrastruktur sehingga berdampak pada menurunnya produksi gabah dan dikhawatirkan mengganggu tingkat ketahanan pangan.

EKBIS.CO, JAKARTA--Board Member Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) sekaligus Ekonom Australian National University (ANU) Arianto Patunru mengatakan, Indonesia perlu berupaya mencapai ketahanan pangan dan menghindari proteksionisme untuk meminimalkan dampak pandemi Covid-19.

Memastikan ketersediaan kebutuhan pangan akan memberikan akses kepada masyarakat luas, terlebih mereka yang penghasilannya terdampak pandemi, untuk memenuhi kebutuhan pangannya dengan harga yang terjangkau.

Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Global 2019, Indonesia berada di peringkat ke 62 dari 113 negara. Peringkat ini berada di bawah negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia dan Thailand serta beberapa negara Afrika seperti Ghana dan Botswana.

Arianto mengatakan, laporan tersebut mesti disikapi secara serius. Sebab, Indonesia memiliki lebih dari 250 juta populasi yang perlu dipastikan pemenuhan kebutuhan pangannya.

“Ada lagi Indeks Kelaparan Global yang dikeluarkan IFRI. Peringkat pertama dari Indeks ini adalah Singapura. Hal ini menarik karena banyak kesalahpahaman selama ini yang menyamakan antara ketahanan pangan dengan swasembada pangan. Singapura jelas tidak swasembada pangan karena mereka tidak punya sumber daya alam. Tapi mereka menjamin tiga komponen ketahanan pangan tercapai oleh warganya. Intinya adalah, ketahanan pangan dapat dicapai dengan menjamin ketiga komponen, ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas, tanpa menutup diri demi mewujudkan swasembada pangan,” kata Arianto dalam keterangan resmi CIPS, Jumat (21/8). 

Arianto berpendapat, terdapat kesalahpahaman yang selama ini beredar di masyarakat, misalnya mengenai anggapan Indonesia adalah negara pertanian. Padahal Indonesia tidak selalu diuntungkan secara geografis.

Ia mencontohkan, Vietnam dan Thailand terletak dekat dengan delta Sungai Mekong yang menjadikan tanah mereka subur. Tanah Indonesia juga subur tapi tidak sesubur mereka, misalnya untuk beras.

Arianto mengatakan, produktivitas beras di Indonesia bisa lebih tinggi tapi dengan berbagai biaya tambahan, seperti pupuk dan irigasi. Produktivitas bisa digenjot tapi hal ini diikuti dengan biaya tambahan.

"Ada hal-hal di mana berbagai variabel ketahanan pangan bisa terpengaruh kondisi di masing-masing negara, seperti akses ke irigasi, akses transportasi, logistik, akses ke air. Pangan sendiri juga memiliki rantai distribusi seperti produksi, distribusi dan konsumsi. Di dalam rantai ini, ada juga isu logistik yang tidak murah, jarak, sistem pergudangan, cold storage, yang memengaruhi penilaian dalam indeks ini," ujarnya.

Lebih lanjut, ia menuturkan, pandemi Covid-19 membuat pemerintah menerapkan berbagai kebijakan pembatasan, seperti physical distancing dan PSBB. Meskipun PSBB mengecualikan sektor pangan agar tetap berjalan, nyatanya tetap membutuhkan dukungan industri lain seperti transportasi dan pengemasan yang terkenda dampak PSBB,

Karena itu, logistik menjadi sangat penting, baik lalu lintas barang di dalam dan luar negeri. Ia menjelaskan, pemerintah perlu berhati-hati untuk memastikan jalannya sektor pangan karena krisis Covid-19 yang awalnya adalah krisis kesehatan juga menjalar ke krisis ekonomi karena adanya berbagai pembatasan. Hal ini menyebabkan adanya penurunan penghasilan bagi sebagian orang dan terhambatnya akses pedagang pasar dan toko.

Terbatasnya penghasilannya membuat sebagian keluarga, terutama mereka yang tergolong masyarakat berpenghasilan rendah, harus menyesuaikan pola konsumsi, seperti mengutamakan makanan yang tahan lama daripada makanan yang segar, seperti daging, ikan dan sayur.

Hal tersebutberakibat pada menurunnya akses kepada makanan bernutrisi, terutama pada anak-anak. "Pada saat krisis keuangan Asia di 1997-1998, karena khawatir akan masa depan, orang-orang mengalihkan konsumsinya ke makananyang lebih murah dan tahan lama. Makanan dengan karakteristik seperti ini memiliki nutrisi yang rendah," ujarnya.

Di beberapa penelitian ditemukan adanya dampak pada anak-anak yang mengonsumsi makanan seperti ini seperti anemia. Kedepan, kata dia, hal ini dikhawatirkan bisa memicu hal yang lebih serius lagi, seperti malnutrisi, stunting dan lain-lain.

Adapun terkait proteksionisme, Indonesia akan menghadapi banyak tantangan, misalnya logistik. Tantangannya bukan hanya logistik di dalam negeri tapi juga luar negeri. Tidak hanya Indonesia yang melakukan pembatasan tetapi juga negara-negara lain. Ditambah lagi, sentimen untuk lebih mengedepankan kebutuhan pasar domestik daripada pasar internasional membuat mereka menahan ekspornya. Indonesia mengalami sendiri terkait produk alat pelindung kesehatan.

Distribusi pangan domestik berlangsung antar kota dan antar pulau dan sangat luas. "Untuk bisa mengerjakan semua, sudah saatnya pemerintah, tidak lagi antar pemerintah pusat dengan daerah, bekerja sama dengan swasta. Pihak swasta memiliki jaringan yang luas hingga ke daerah-daerah yang berarti mereka memiliki sudah memiliki infrastruktur jaringan yang sudah mencapai pelosok," ujarnya.

Ia mengatakan, hal itu akan sangat meringankan tugas pemerintah dan memajukan usahanya. Di saat seperti pandemi seperti ini, petani dapat menggunakan jaringan swasta untuk memasarkan barangnya. Pihak swasta dapat diberikan insentif untuk kerja sama ini. Namun juga perlu disesuaikan dengan regulasi yang berlaku.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement