EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin berharap Mahkamah Agung (MA) terus memperkuat kapasitas dan profesionalisme hakim yang bertugas dalam memeriksa dan mengadili perkara ekonomi syariah. Sebab, kata Ma'ruf, MA merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah secara litigasi.
"Untuk itu, keberadaannya harus diperkuat lagi, di antaranya dengan meningkatkan kapasitas dan profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara ekonomi Syariah," ujar Ma'ruf saat membuka secara virtual Seminar Nasional Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung bertema: 'Penguatan & Penegakan Hukum Ekonomi Syariah yang Berkeadilan di Indonesia', Rabu (26/8).
Ma'ruf menerangkan, penguatan kapasitas hakim dimaksudkan agar putusan yang ditetapkan nantinya bisa memenuhi rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi berbagai pihak. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat pelaku bisnis syariah kepada lembaga peradilan.
Selain itu, mendorong semakin terbukanya iklim kemudahan berusaha di bidang ekonomi syariah di Indonesia, serta pada gilirannya dapat mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.
"Dalam konteks ini saya berpandangan bahwa penguatan kelembagaan dan kewenangan badan peradilan agama dalam mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi agenda prioritas yang perlu segera diwujudkan," kata Ma'ruf.
Ia menjelaskan, hal-hal terkait hukum materiil, berupa peraturan perundang-undangan yang mendukung optimalisasi penyelesaian sengketa Syariah juga perlu terus disempurnakan dan ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya.
Ia mengatakan, sesuai Peraturan Perundangan, penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara litigasi merupakan kewenangan peradilan agama. Karena itu, seluruh sengketa keperdataan yang bersumber dari akad syariah, bila diselesaikan melalui jalur litigasi, harus diajukan, diperiksa, diadili, dan diselesaikan oleh pengadilan agama,
"Agar memenuhi prinsip-prinsip syariah yang menjadi landasan setiap Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), ungkapnya.
Namun, yang menjadi masalah yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) belum mengatur tentang kepailitan dan PKPU berdasarkan prinsip syariah. Oleh sebab itu, permohonan kepalitan yang bersumber dari akad syariah, masih diajukan dan diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Karena itu, ini menunjukkan adanya disharmonisasi aturan hukum tentang ekonomi syariah di Indonesia. "Oleh sebab itu, saya berpandangan bahwa RUU Kepailitan yang saat ini sedang dibahas di DPR sebaiknya diselaraskan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada bahwa sengketa terkait ekonomi Syariah merupakan kewenangan peradilan agama, termasuk tentang kepailitan," ungkapnya.