EKBIS.CO, JAKARTA -- Tahun lalu, ratusan ribu hektare lahan gambut terbakar di Indonesia. Kini, kelompok pemerhati lingkungan menyebut lahan itu belum direstorasi secara serius, terutama di area konsesi perusahaan.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas lahan terbakar tahun 2019 mencapai 942.485 hektare (ha). Sebanyak 269.777 ha di antaranya adalah lahan gambut. Lahan gambut menjadi sorotan banyak pihak lantaran rentan terbakar kembali dan keberadaanya berperan besar dalam aspek lingkungan jangka panjang.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut, upaya restorasi belum dilakukan secara serius di lahan gambut yang berada di area konsesi. Baik konsesi kehutanan maupun perkebunan. Padahal restorasi adalah kewajiban perusahaan pemegang konsesi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Ditjen PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lahan gambut di area konsesi yang terbakar pada 2019 luasnya 76.384 ha. Sebagai perbandingan, Provinsi DKI Jakarta luasnya hanya 66.150 ha.
Walhi berkesimpulan bahwa restorasi gambut di area konsesi dilaksanakan tidak serius karena telah melakukan pemantauan sejak Juli 2019 - Maret 2020. Pemantauan dilakukan di 19 lahan konsesi kehutanan dan 19 lahan konsesi perkebunan yang tersebar di tujuh provinsi dan di 14 Kawasan Hidrologis Gambut.
Manager Kampanye, Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana, mengatakan, hasilnya ditemukan sebanyak 87 persen lahan gambut terbakar di area konsesi kehutanan dengan 93 persen di antaranya merupakan kebakaran berulang. Sedangkan di area konsesi perkebunan ditemukan 69 persen lahan gambut terbakar dengan 73 persen di antaranya kebakaran berulang.
"Itu kan artinya proses restorasi tidak dilakukan dengan benar," kata Wahyu kepada Republika, Kamis (17/9).
Walhi, ujar Wahyu, enggan menyebut restorasi di area konsesi itu berjalan "tidak efektif". Pihaknya lebih memilih untuk menyebut bahwa restorasi dilakukan "tidak sungguh-sungguh" atau "ngakal-ngakalin".
Wahyu menjelaskan, disebut "ngakal-ngakalin" karena pemegang konsesi hanya melakukan restorasi sebagai formalitas belaka. Pembuatan sekat kanal, misalnya, hanya untuk mendapatkan penilaian bagus ketika pemerintah melakukan inspeksi. Pada kenyataanya, air tidak dilewatkan di sekat kanal itu sehingga gambut tetap kering.
Selain itu, lanjut dia, Menara Pemantau Api yang dibuat ketinggiannya juga tak sesuai standar. Ditambah lagi dengan tidak adanya tim pemadam permanen di masing-masing konsesi sebagaimana diamanatkan regulasi.
Badan Restorasi Gambut (BRG) menyampaikan hal serupa dengan Walhi. Untuk diketahui, dari 1.784.354 ha target restorasi BRG di area konsesi, sebanyak 20.153 ha di antaranya ikut terbakar pada 2019.
Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan di BRG, Myrna Safitri, mengatakan, terdapat 100-an perusahaan pemegang konsesi di lahan target restorasi pada konsesi perkebunan (luasnya 555.659,23 ha). Sebanyak 80 persen dari perusahaan itu sudah dilakukan supervisi ataupun asistensi teknis, tapi tak semuanya menjalankan restorasi sesuai arahan BRG.
"Dari data sampai 2019, sekitar 79 persen perusahaan yang kami visit kondisinya sedang. Artinya sudah mengupayakan membangun infrastruktur pembasahan, sumur pantau, dan lain-lain. Tetapi, banyak yang secara teknis keliru," kata Myrna kepada Republika, Kamis.
Myrna melanjutkan, dalam membuat sekat kanal, misalnya, masih banyak yang belum sesuai standar BRG. Selain itu, banyak juga perusahaan tersebut yang tidak punya peta neraca air.
Menurut Wahyu dari Walhi, restorasi "ngakal-ngakalin" itu terjadi karena tidak adanya penegakkan hukum. Seharusnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan pemegang konsesi yang tidak serius melakukan restorasi.
"Karena tidak ada ketegasan, makanya banyak yang nakal," ungkap Wahyu. "Selama proses penegakkan hukum terhadap konsesinya tidak dijalankan, ya kebakarannya akan terus berulang."
Terbesar sejak 2015
Wahyu dari Walhi mendesak agar penegakkan hukum segera dilakukan kepada pemegang konsesi yang belum serius melakukan restorasi. Proses restorasi juga harus dipercepat karena kebakaran hutan sudah sangat merugikan Indonesia sebagaimana termaktub dalam laporan World Bank.
World Bank dalam laporannya bertajuk Indonesia Economic Quarterly yang dirilis Desember 2019 menyebutkan bahwa Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) 2019 adalah yang terbesar sejak Karhutla 2015. Total kerugian Indonesia akibat Karhutla 2019 ditaksir mencapai 5,2 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 76,7 triliun (kurs 14.765 per dolar AS).
Jika terus dibiarkan, kata Wahyu, berarti "kita bukan saja sedang biarkan kejahatan lingkungan terjadi, tapi juga kita sedang pelan-pelan bunuh generasi mendatang.
Memang Masih Minim
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Dirjen PPKL) KLHK, MR Karliansyah, membantah tudingan Walhi. Terutama soal tak adanya penegakkan hukum.
Ia menjelaskan, terdapat beberapa tahapan untuk memulihkan ekosistem gambut di area konsesi. Di mulai dari dengan penetapan peta area konsesi yang terbakar oleh Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI). Selanjutnya data itu jadi dasar verifikasi lapangan oleh Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum.)
"Berdasarkan hasil verifikasi lapangan, Dirjen Gakkum menetapkan sanksi administrasi dan perintah pemulihan kepada perusahaan pemegang konsesi yang areanya terbakar," kata Karliansyah dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Jumat (18/9).
Setelah itu, Dirjen Gakkum menyerahkan data perusahaan yang disanksi kepada Dirjen PPKL. Selebihnya adalah wewenang Dirjen PPKL untuk mengevaluasi dokumen rencana pemulihan, penyetujuan rencana pemulihan, dan melakukan penilaian atas upaya pemulihan.
Namun demikian, Karliansyah tak menjawab ketika ditanya soal adakah sanksi diberikan jika para pemegang konsesi tak melaksanakan restorasi sesuai standar. Pertanyaan sama juga Republika ajukan kepada Dirjen Gakkum KLHK dan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, namun satupun yang merespons.
Karliansyah juga membantah tudingan soal restorasi dilakukan pemegang konsesi secara tak serius. "Hasil pemantauan menunjukkan sebagian besar pemegang konsesi telah memenuhi kewajiban tinggi muka air tanah (TMAT) di bawah 0,4 meter dan kewajiban teknis lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Terkait lahan gambut bekas terbakar 2019 di area konsesi, Karliansyah justru memberikan data yang mengkonfirmasi temuan Walhi. Ternyata, lahan gambut yang direstorasi baru 4,63 persen dari total yang terbakar di area konsesi.
"Lahan gambut yang terbakar di area konsesi pada tahun 2019 seluas 76.384,39 ha dan (yang) telah dipulihkan seluas 3.541,51 ha," kata dia membeberkan.
Karliansyah beralasan, masih minimnya capaian pemulihan itu lantaran proses pemulihan butuh proses sebagaimana tercantum dalam Peraturan MENLHK Nomor 16 tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut. "Apalagi kalau sudah masuk wilayah pengadilan, harus menunggu putusan pengadilan dulu," ujarnya.