Selasa 13 Oct 2020 18:16 WIB

Duh...Pasar Ayam 90 Persen Dikuasai Asing

Peternak ayam lokal minta pemerintah membatasi impor ayam broiler perusahan kakap.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Peternak memberikan pakan ayam broiler di kandang miliknya di Cimincrang, Bandung.
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Peternak memberikan pakan ayam broiler di kandang miliknya di Cimincrang, Bandung.

EKBIS.CO,  BANDUNG -- Barang impor yang masuk ke Indonesia dan bersaing dengan produk lokal, bukan hal baru yang didengar. Fenomena itu pula yang membuat peternak ayam broiler lokal setingkat UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) merasa kesulitan bersaing dengan perusahaan-perusahaan impor kelas kakap.

Menurut Perwakilan Forum Komunikasi Peternak Ayam Millennial Jawa Barat, Nurul Ikwan, para peternak memerlukan peran pemerintah agar dapat memenetrasi geliat peternak lokal dalam melangsungkan bisnisnya. Salah satunya dengan cara membatasi impor ayam broiler yang masuk. Serta, meningkatkan kemampuan kualitas dan kuantitas peternak lokal setingkat UMKM.

“Itu terjadi akibat mudahnya perusahaan-perusahaan asing skala besar yang mencari makan di tanah Ibu Pertiwi ini. Tentunya kita sebagai peternak rakyat yang memiliki modal pas-pasan hanya bisa pasrah,” ujar Ikwan, kepada wartawan, Selasa (13/10).

Ikwan mengatakan, bagaimana tidak pasrah, kenyataannya setelah beberapa perusahaan melakukan merger, maka 90 persen pangsa pasar dalam negeri bakal dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang dianggap memiliki modal besar. Hal itu, bukan hanya prediksi peternak semata, melainkan juga dibenarkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Menurutnya, ada 15 perusahaan yang memiliki izin impor GPS (Grandparent Stock) indukan nenek ayam. “Data itu dinyatakan Kepala Seksi di bawah Ditjen Perdagangan Dalam Negeri pada kegiatan Rembug Perunggasan Nasional di Bogor bulan lalu,” katanya.

Fakta di lapangan, kata dia, menunjukkan bahwa ada dua perusahaan industri ayam asing asal Thailand dan perusahaan dengan kepemilikan saham asal Singapura telah menjadi pemegang pangsa pasar ayam nasional masing-masing sebanyak 40 dan 30 persen.

Selain itu, kata dia, 20 persen pangsa pasar ayam nasional lainnya dikuasai perusahaan asing asal Tiongkok, Malaysia, dan Korea Selatan. Sementara itu 8 persennya dimiliki oleh delapan perusahaan lokal yang sudah memiliki izin dalam pengembangan budidaya peternakan hingga dapat menjual Live birds (ayam hidup). 

“Sisanya, hanya 2 persen yang menjadi jatah bagi pasar ayam untuk peternak mandiri yang berstatus UMKM,” katanya.

Ikwan mengklaim, bahwa ketidaksehatan persaingan usaha yang ada, menjadi salah satu alasan mengapa harga ayam di tingkat peternak seringkali tak stabil. Karena, stabilitas tidak akan bisa dijaga selama supply-demand tidak sehat ditambah adanya wabah virus corona tahun ini 

“Seperti bom waktu bagi peternak rakyat di perunggasan. Tinggal menunggu waktu yang pas untuk memamatikan usaha kecil mereka,” katanya.

Permasalahan yang terjadi saat ini, kata dia, bisa jadi dipengaruhi oleh kebijakan tahun 2018 yang memasukkan ayam GPS berlebih sehingga terjadi oversupply ayam final stock di lapangan pada 2020.

"Maka itu, jangan heran jika para pelaku UMKM di sektor perunggasan amat mengharapkan perhatian pemerintah terhadap nasib bisnis mereka," katanya.

Para peternak, kata dia, hingga saat ini masih menganggap bahwa praktik monopoli semestinya dapat dihentikan. Bahkan saat ini perusahaan-perusahaan besar menjual ayam hidup mereka sampai ke pasar becek, di mana pasar becek merupakan tempat menjual ayam dari peternak'

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement