EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Jawa Tengah Pardjuni menyebutkan, tren kenaikan harga ayam ras livebird mencapai Rp 2.000 per kilogram dipengaruhi adanya permainan dari perusahaan pembibit ayam (breeder). Pardjuni menjelaskan, kenaikan harga ini tidak sesuai yang diharapkan oleh pemerintah dan peternak.
Menurut dia, kenaikan harga secara tiba-tiba ini justru tidak akan bertahan lama dan segera mengalami penurunan dalam beberapa hari saja.
Kementerian Pertanian (Kementan) telah berupaya menurunkan populasi livebird sehingga pada akhirnya harga ayam potong di level peternak tidak tertekan. Kementan pun telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tentang Pengurangan DOC FS Ayam Ras Melalui Cutting HE, Penyesuaian Setting HE dan Afkir Dini PS Tahun 2020.
"Justru dengan SE ini, ada kesempatan breeding untuk main-main harga, di mana populasinya mungkin tidak sesuai yang dipangkas, tapi dia bisa bilang ke peternak, ada pemangkasan sehingga harganya naik," kata Pardjuni dalam webinar yang diselenggarakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi, Selasa (13/10).
Senada dengan itu, Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN), Alvino Antonio menilai kenaikan harga tersebut tidak wajar karena lompatan harga yang terlalu tinggi. "Saya tidak tahu ada fenomena apa bisa tiba-tiba naik Rp 2.000. Apakah ini karena ada rencana dari peternak mau demo, saya kurang tahu tapi kalau dilihat dari harga, tren naiknya seharusnya tidak melompat seperti sekarang," kata Alvino.
Alvino menilai kewajiban pemangkasan produksi ayam seperti penundaan setting telur tetas belum dijalankan sepenuhnya oleh integrator atau perusahaan pembibit.
Ia menyebutkan, hingga kini masih banyak bibit ayam atau Day Old Chicken (DOC) yang beredar di pasar. Seharusnya, jika pemangkasaan dilakukan dengan benar, bibit ayam tidak diperjualbelikan secara bebas.
Para peternak menilai, pemerintah dalam hal ini Kementan sudah serius mengatasi tertekannya harga ayam di tingkat peternak. Namun demikian, implementasi terkait SE Dirjen PKH untuk pemangkasan produksi dinilai belum bisa berjalan maksimal karena sanksi yang diterapkan belum tegas.