EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan penerimaan warga negara menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak bisa dijadikan solusi mengatasi pengangguran.
"Kami meyakini bahwa untuk mencipta lapangan kerja untuk pengangguran mencapai 15 juta (jiwa) itu, tidak mungkin dengan penerimaan PNS, nggak mungkin. Swasta harus masuk, caranya dengan investasi," kata Bahlil di Jakarta, Senin (26/10).
Angka 15 juta orang pengangguran itu merupakan akumulasi dari angka pengangguran saat ini mencapai 7 juta jiwa, ditambah angka tenaga kerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja akibat pandemi COVID-19 mencapai 5 juta jiwa dan jumlah angkatan kerja per tahun mencapai 3 juta jiwa.
"Dapat dari mana datanya, dapat dari beberapa asosiasi. Dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin), dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi). Jadi total sekarang kondisi total orang yang mencari pekerjaan kurang lebih 15 juta (jiwa)," kata Bahlil.
Namun, muncul pertanyaan berapa banyak serapan penerimaan PNS, ditambah TNI/ Polri, dan BUMN bisa berdampak mengurangi angka 15 juta pengangguran tersebut.
"Karena perintah pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hadir harus memberikan lapangan pekerjaan yang layak untuk warganya, kan begitu," kata Bahlil.
Bahlil mengatakan total serapan penerimaan TNI/ Polri dan PNS terhadap tenaga kerja hanya berkisar 400 ribu sampai 500 ribu. Kalau hanya itu yang diandalkan untuk mengatasi pengangguran, maka ada 14,5 juta jiwa lagi yang belum mendapatkan pekerjaan.
Kemudian menjadi ironi, kata Bahlil, dimana Indonesia akan memasuki puncak bonus demografi pada 2030. Artinya, dominasi penduduk di Indonesia pada tahun 2030 adalah usia produktif.
Mantan Ketua Umum Hipmi itu mengaku pernah melakukan survei terhadap harapan pekerjaan 5,7 juta mahasiswa strata 1 dari Aceh sampai Papua baik perguruan tinggi swasta maupun negeri pada tahun 2015.
"Hasil surveinya mengatakan bahwa 83 persen dari mereka itu ingin jadi karyawan. 14 persen ingin jadi pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (Non-Government Organization/ NGO) sama politisi. Tiga persen itu ingin jadi pengusaha (entrepreneur)," kata Bahlil.
​​​​​​​
Bahlil menambahkan ketika partisipan survei tersebut ditanya apakah mau kaya, semua menjawab mau. Namun angka prosentase yang memilih jadi pengusaha sangat rendah.
"Jadi antara pilihan kerjaan dengan hasil pekerjaan itu enggak menyambung, enggak terkoneksi. Terus ada pertanyaan berikut, kenapa tidak ingin jadi pengusaha? Ternyata karena izinnya susah, bapak-ibu semua, dan saya sudah merasakan kok (susahnya mengurus izin jadi pengusaha)," kata Bahlil.
Maksud Bahlil, menjadi pengusaha di republik ini tidak semudah menjadi karyawan atau politisi. Karena pemerintah Indonesia saat itu tidak memiliki regulasi yang berpihak kepada pengusaha.
Akhirnya, kata Bahlil, pilihan jadi pengusaha hanya dimiliki oleh dua, yaitu pengusaha yang dibentuk oleh garis keturunan (nasab) dan pengusaha yang dibentuk oleh takdir (nasib).
Hal itu tentu tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Menurut Bahlil, negara harus mendesain pola pikir generasi muda untuk menjadi pengusaha. Sehingga generasi muda mau meninggalkan pola pikir lama yaitu kalau sukses harus mencari kerja bukan membuat lapangan kerja.