EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan UKM mulai menerapkan reformasi sistem pengawasan koperasi sebagai upaya untuk mencegah praktik penyimpangan koperasi sekaligus mengantisipasi kondisi gagal bayar koperasi di tengah pandemi.
Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi, di Jakarta, Kamis (29/10), mengatakan pihaknya sangat menyadari pentingnya pengawasan untuk menjawab keluhan masyarakat yang tertipu koperasi abal-abal.
“Kami mulai menerapkan reformasi pengawasan koperasi karena melihat praktik koperasi abal-abal yang melanggar prinsip-prinsip koperasi. Praktik-praktik menyimpang ini tidak hanya merugikan koperasi tapi juga nama baik koperasi,” kata Zabadi.
Pihaknya juga melakukan reformasi terhadap pengawasan koperasi sebagai antisipasi praktik-praktik penyimpangan lain seperti investasi bodong dan ilegal yang mengatasnamakan koperasi.
Di sisi lain, kata dia, pandemi juga memberikan pelajaran penting bagi koperasi simpan pinjam di Indonesia yang sebelumnya tidak mengenal istilah gagal bayar. Tapi kini pada kenyataannya beberapa koperasi mengalami tekanan likuiditas berat akibat pandemi yang sebenarnya juga dialami lembaga keuangan lain termasuk bank.
“Bedanya bank punya jaring pengaman berlapis. Sedangkan koperasi ini belum dikecualikan dari itu sehingga kami melihat ada kepentingan untuk memperkuat lebih dulu dari sisi preventif sebelum ada LPS koperasi, setidaknya ada langkah preventif yang sifatnya regulasi yang dapat mencegah koperasi gagal bayar,” katanya.
Zabadi menambahkan, sejumlah latar belakang tersebut mendorong pihaknya untuk melakukan perubahan dan reformasi sistem regulasi pengawasan koperasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengawasan Koperasi sebagai upaya untuk mendorong tumbuh kembangnya koperasi sehat dan terpercaya.
Dalam sistem pengawasan yang baru, koperasi dibagi dalam 4 klasifikasi usaha koperasi (KUK) dengan menekankan sistem pengawasan berbasis risiko. Penetapan dari pengkategorian tersebut mempertimbangkan di antaranya jumlah anggota, permodalan, dan jumlah aset sehingga perlakuan pengawasan terhadap masing-masing KUK juga akan berbeda.
Selain itu, ada perubahan dalam tata cara pengawasan terutama untuk KUK 3 dan 4 dimana aset koperasi telah di atas Rp100 miliar maka ada tahapan syarat fit dan proper test bagi pengurus koperasi, keharusan penerapan sistem IT yang mendukung, dan pemeriksaan secara terintegrasi dan komprehensif.
“Selama ini pengawasan dilakukan melalui 4 cara yaitu skema kepatuhan, kelembagaan, pemeriksaan usaha simpan pinjam, penilaian kesehatan koperasi, yang masing-masing dilakukan secara parsial. Kalau dijumlah kertas kerjanya ada 475 lembar, ini kebanyakan. Jadi dalam sistem yang baru diintegrasikan dalam satu kertas kerja,” katanya.
Terkait sanksi, Zabadi mengatakan, pihaknya akan memberikan sanksi administratif sesuai tingkat masalah atau pelanggaran berupa surat teguran, penurunan tingkat kesehatan, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan izin, pencabutan izin, hingga pembubaran.
Pada kesempatan yang sama Zabadi juga menyesalkan kondisi citra koperasi yang rusak akibat penyimpangan koperasi abal-abal atau investasi bodong berkedok koperasi yang jumlahnya justru sebenarnya tak seberapa dibandingkan koperasi sehat dan berprestasi.
“Kami mencatat ada 779 koperasi yang asetnya bahkan sudah di atas BPR,” katanya.