EKBIS.CO, BOGOR -- Strategi pengembangan peternakan di Indonesia sebaiknya diarahkan ke perbanyakan populasi ternak karena peningkatan produktivitas per individu ternak akan sulit untuk dicapai. Hal ini disampaikan Prof Dr Asep Sudarman, Guru Besar IPB University bidang Ilmu Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar, (5/11).
Dalam paparannya yang berjudul Pengembangan Industri Peternakan Nasional melalui Strategi Nutrisi yang Tepat dengan Menciptakan Ketahanan Pakan Berkualitas, Prof Asep mengungkapkan bahwa pemberian pakan kepada ternak ruminansia secara tradisional yaitu hanya diberi jerami padi dan rumput sepuasnya, ternyata tidak menunjukkan adanya pertambahan bobot badan pada ternak tersebut.
“Berdasarkan riset kami, kerbau yang dipelihara secara tradisional, diberi jerami padi dan rumput sepuasnya, setelah dua minggu pemeliharaan menunjukkan bahwa bobot badannya tidak mengalami kenaikan. Sebaliknya, kerbau yang diberi tambahan konsentrat berupa 50 persen gaplek dan 50 persen daun indigofera sebanyak satu kilogram per ekor per hari, menghasilkan kenaikan bobot badan sebesar 732 gram per ekor per hari yang juga ditandai dengan terkoreksinya status nutrisi kerbau. Pemberian daun singkong hasil fermentasi kepada domba sebanyak 20 persen juga menghasilkan produksi yang setara dengan domba yang diberi 20 persen konsentrat," jelas dosen IPB University yang akan melakukan Orasi Ilmiah Guru Besar pada Sabtu (7/11) ini.
Ketidakcukupan nutrisi pada ternak karena terbatasnya ketersediaan dan pemberian pakan berkualitas tinggi, menurutnya, dapat menghambat program pengembangan peternakan nasional. Ini yang menyebabkan beberapa program pengembangan peternakan yang kurang berhasil.
Menurutnya, Amerika dan Brazil berhasil mengembangkan industri peternakannya karena mereka memiliki sediaan pakan yang melimpah. Amerika dengan Corn Belt-nya memiliki kawasan luas penghasil jagung dan kedelai dengan luas tanam masing-masing 36,1 juta hektar. Sedangkan keberhasilan Brazil adalah dengan mengonversi hutan Amazon menjadi lahan jagung, kedelai dan peternakan. Brazil memiliki luas panen jagung 19,5 juta hektar dan kedelai mencapai 38,6 juta hektar.
“Pola pikir lama yang menyatakan ada persaingan antara kebutuhan pangan untuk manusia dan kebutuhan pakan untuk ternak, harus segera ditinggalkan. Perlu diciptakan pola pikir baru bahwa penyediaan pakan ternak berkualitas baik dan kebutuhan manusia bukanlah suatu persaingan. Keduanya harus diproduksi secara simultan dengan jumlah berlimpah melalui perluasan area tanam secara signifikan, khususnya di daerah-daerah dengan kepadatan penduduk yang rendah,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Membangun ketahanan pakan berkualitas tinggi adalah keharusan guna mewujudkan pengembangan industri peternakan yang berkelanjutan dan tangguh secara nasional maupun global. Keberhasilan Amerika Serikat dan Brazil dalam mengembangkan industri peternakannya perlu menjadi bahan pembelajaran untuk ditiru oleh kita.
Selain itu, produk ternak merupakan sumber protein berkualitas tinggi yang berguna untuk mendukung terciptanya sumberdaya manusia nasional berkualitas, guna menghadapi era persaingan global.
“Produk ternak juga bernilai ekonomis tinggi. Di Jepang misalnya, harga satu porsi steak Wagyu bisa mencapai lebih dari dua juta rupiah. Oleh karena itu, peternakan adalah sektor yang dapat diandalkan untuk menjadi penggerak roda pembangunan ekonomi nasional,” imbuhnya.