EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan, Indonesia sudah resmi resesi. Ia menilai, resesi ekonomi pada kuartal III ini, hanya mengafirmasi kembali kalau ekonomi sedang berada dalam tekanan cukup berat.
"Yang menjadi pertanyaan besar apakah ekonomi Indonesia akan masuk dalam depresi, yakni resesi ekonomi yang berlanjut dalam satu tahun ke depan? Sebab, Konsumsi rumah tangga masih terkontraksi -4,04 persen, menunjukkan masyarakat khususnya menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah," ujar dia kepada Republika, Kamis (5/11).
Dirinya melanjutkan, kekhawatiran belanja di luar rumah masih cukup tinggi, sehingga kelas menengah dan atas mengalihkan uang ke simpanan perbankan atau aset aman. Menurut dia, situasi ini sulit alami perubahan apabila masalah fundamental gerak masyarakat terbatas karena pandemi belum juga diselesaikan.
Selanjutnya, kata dia, kinerja investasi tidak sejalan dengan kampanye pemerintah untuk menarik relokasi industri dan Omnibus Law Cipta Kerja. Pertumbuhan investasi (PMTB) terkoreksi hingga -6,48 persen.
"Ini indikasi bahwa masalah utama investasi saat ini yaitu penanganan pandemi, perbaikan daya beli, dan pemberantasan korupsi serta penurunan biaya logistik. Masalah fundamental tersebut banyak yang tidak segera diatasi oleh pemerintah," jelas dia.
Belanja pemerintah, sambungnya, belum mampu pula mendorong pemulihan ekonomi. Meskipun ada kenaikan pertumbuhan sebesar 9,76 persen, namun kontribusi belanja pemerintah baru mencapai 9,69 persen pada kuartal ketiga atau hanya naik tipis dibanding kuartal kedua, yakni 8,67 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Bhima menilai, sektor produksi barang masih lesu dan sumbangan terhadap PDB-nya cenderung menurun. Industri manufaktur masih berada di bawah 20 persen dari PDB, dan sektor pertanian alami penurunan dari 15,4 persen pada kuartal ke II 2020 menjadi 14,6 persen pada kuartal ke III.
Sementara sektor nonproduksi (non-tradable) atau jasa semakin mendominasi perekonomian. Sektor jasa informasi komunikasi berada di atas 4,5 persen, dan jasa konstruksi 10,6 persen dari PDB.
"Kualitas ekonomi yang menurun akan mengancam serapan kerja pada tahun 2021. Sebab sektor non-tradable serapannya cenderung lebih rendah dibandingkan sektor tradable atau penghasil barang seperti industri pengolahan dan pertanian," jelas dia.
Apalagi, lanjutnya, laju pertumbuhan industri manufaktur belum ada perbaikan signifikan yakni bertahan di level negatif menjadi -4,3 persen. Indikasi sektor manufaktur masih alami tekanan yang cukup dalam seiring belum pulihnya permintaan di dalam dan pasar ekspor.
Jadi, kata dia, kondisi ekonomi pada 2021 atau 2022 masih belum dapat dipastikan. "Resesi ekonomi dapat mengarah pada depresi ekonomi jika pertumbuhan PDB masih negatif hingga 2021. Situasi ini akan mengarah pada gelombang kebangkrutan massal perusahaan didalam negeri. PHK di berbagai sektor masih akan terjadi dan menyumbang angka pengangguran serta kenaikan jumlah orang miskin baru," tutur Bhima.
Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini mengumumkan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi minus 3,49 persen pada kuartal ketiga dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu (year on year/ yoy). Realisasi ini membaik dibandingkan kuartal kedua yang tumbuh negatif 5,32 persen (yoy).
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, terlihat perbaikan pada berbagai indikator. Di antaranya, sebagian besar lapangan usaha yang mulai menunjukkan pertumbuhan.
"Ada perbaikan di sana. Masih kontraksi tapi tidak sedalam kuartal kedua dan arahnya harus diperbaiki dengan semangat optimisme bersama," ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (5/11).
Salah satu lapangan usaha yang menunjukkan perbaikan adalah sektor industri. Meski masih tumbuh negatif 4,31 persen, pertumbuhan ini membaik dibandingkan kuartal kedua yang menyusut 6,19 persen.
Begitupun dengan sektor perdagangan yang kontraksi 5,03 persen, lebih pulih dibandingkan minus 7,57 persen pada kuartal kedua. Sektor akomodasi dan makanan minuman juga mengalami kontraksi yang lebih landai, yaitu dari minus 22,02 persen di kuartal kedua menjadi minus 11,86 persen pada periode Juli-September.
Beberapa sektor bahkan masih mencatatkan pertumbuhan positif. Misalnya saja pertanian dan informasi dan komunikasi yang masing-masing tumbuh 2,15 persen dan 10,61 persen. Jasa kesehatan bahkan tumbuh 15, 33 persen, naik signifikan dibandingkan kuartal kedua, 3,71 persen.
Pemulihan lebih signifikan terlihat secara kuartalan (q-to-q). Dibandingkan kuartal kedua 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan pertumbuhan positif 5,05 persen. Realisasi ini juga jauh membaik dibandingkan periode April hingga Juni yang mencatatkan pertumbuhan negatif 4,19 persen.
Suhariyanto menyebutkan, pertumbuhan ekonomi yang membaik di kuartal ketiga dipengaruhi berbagai peristiwa. Di antaranya, perekonomian di berbagai negara yang juga menunjukkan pemulihan dibandingkan kuartal sebelumnya. "Berbagai pergerakan indikator di banyak negara mengalami perbaikan tapi masih menghadapi kendala karena masih tingginya kasus Covid-19," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, hampir semua sektor mencatatkan perbaikan atau turning point yang menggambarkan titik balik pemulihan ekonomi Indonesia. Realisasi ini dinilainya dapat memberikan harapan besar untuk terus memperbaiki ekonomi dari sisi produksi.
"Kuartal ketiga menunjukkan, the worst is over atau hal paling buruk, dampak terburuk dari Covid-19 di kuartal kedua sudah terlewati dan sekarang sudah tahap pemulihan," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Kamis (5/11).