EKBIS.CO, BOGOR -- Harga kedelai menjadi topik hangat beberapa hari terakhir ini. Di pasaran, pasokan tahu dan tempe menjadi langka sebab adanya aksi mogok produksi dari para pengrajin tahu tempe di Jabodetabek.
Melihat fenomena tersebut, Dr Bayu Krisnamurthi, dosen IPB University dari Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) mengatakan, produksi kedelai dunia untuk tahun 2020 sebenarnya baik. “Pertumbuhan produksi dunia berkisar antara dua sampai delapan persen tergantung negaranya. Jumlah produksi kedelai sekitar 362 juta ton di seluruh dunia,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (5/1).
Sosok yang pernah menjabat sebagai wakil Menteri Pertanian di tahun 2010-2012 dan wakil Menteri Perdagangan di tahun 2012-2014 ini menyebutkan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab harga kedelai di Indonesia bahkan di seluruh dunia naik. Pertama, belanja besar-besaran Cina selepas setengah tahun ‘berpuasa’. “Praktis selama awal tahun 2020 hingga April sampai Mei, Cina tidak membeli apa-apa. Namun pada bulan Juli, impor kedelai Cina naik 91 persen dibanding tahun 2019,” ungkap Prof Bayu.
Sementara, pada bulan September impor Cina juga naik 51 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Di samping itu, terjadi peningkatan permintaan yang besar dalam jangka waktu yang pendek sehingga menyebabkan kenaikan harga kedelai.
“Kedua, karena belanja Cina yang gila-gilaan, cadangan stok kedelai di banyak negara turun drastis. Ini memberi sinyal kenaikan harga dalam tiga sampai enam bulan berikutnya. Industri akan berpikir dan memastikan tiga atau enam bulan lagi apakah masih mendapatkan bahan baku atau tidak, karenanya dia bikin future contract. Kontrak masa depan itu ada harganya. Kurangnya stok itulah akhirnya membuat harga kedelai di masa depan naik,” tuturnya.
Faktor yang ketiga, lanjut Prof Bayu, dari 362 juta produksi kedelai dunia, Indonesia impor sekitar 1,7 sampai dua juta ton. Angka ini kecil jika dibandingkan dengan total perdagangan dunia yang mencapai 130 juta ton.
“Implikasi dari hal itu, seringkali kita tidak jadi prioritas. Bukan hanya di produknya, tapi di alat angkutnya. Kalau Cina membeli besar-besaran, maka perusahaan kapal laut akan melayani. Sementara kita, dan tentu negara-negara lain yang melakukan impor dalam jumlah tidak banyak, kesulitan mendapatkan kontainer maupun kapal pengangkut. Tiga situasi inilah yang membuat harga kedelai di dunia saat ini naik,” paparnya.
Dr Bayu juga mengomentari pernyataan Kementerian Perdagangan yang sebelumnya telah menjamin jika stok kedelai masih aman. Ia mengatakan, kedelai yang dimiliki para pedagang merupakan barang lama yang didapatkan dengan harga yang relatif murah.
“Yang menjadi masalah, jika pedagang menjual dengan harga sewaktu beli, maka dipastikan tidak akan cukup untuk belanja yang akan datang. Karenanya prioritas utamanya, kedelainya harus ada dengan harga yang juga disesuaikan,” katanya.
Dr Bayu melanjutkan, untuk mencapai swasembada, pemerintah harus memiliki prioritas dan konsentrasi pada kedelai tertentu. Jika melihat konsumsi kedelai di Indonesia, setidaknya ada dua tipe konsumsi. Pertama konsumsi kedelai utuh, seperti pada pembuatan tempe. Kedua, kedelai yang dihancurkan, seperti kecap, tahu, oncom dan sebagainya.
Kasus pada tempe, Dr Bayu menilai konsumen Indonesia sekarang makin memilih. Masyarakat sekarang ingin tempe yang kedelainya terlihat bagus, kuningnya sama, besarnya sama. Sementara petani kita tidak mampu menghasilkan kedelai yang seragam.
Sementara pada kedelai hitam untuk kecap, kedelai untuk oncom atau tahu, Indonesia bisa memproduksi tanpa impor. Semua merupakan kedelai dalam negeri, karena tidak masalah untuk tidak seragam.
“Jadi kalau mau swasembada, konsentrasi pada kedelai yang dihancurkan. Atau kita promosikan bahwa tempe yang tidak seragam itu baik. Perlu saat ini membangun minat masyarakat untuk mau mengkonsumsi tempe yang kuningnya tidak ngejreng begitu, karena sunnatullah-nya kedelai tropis itu tidak seragam, dan justru kandungan gizi kedelai kita lebih baik dan lebih sehat,” terangnya.