EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian (Kementan), Agung Hendriadi, menjelaskan, gerakan stabilisasi harga merupakan hasil dari pertemuan antara Kementan bersama Kementerian Perdagangan, Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo), serta Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) pada Selasa (5/1).
"Kemendag dan Kementan hanya memfasilitasi, yang bersepakat adalah asosiasi importir dan produsen tempe tahu. Kesepakatannya, kita akan lakukan gerakan stabilisasi harga dan pasokan kedelai 100 hari ke depan," kata Agung di Jakarta, Kamis (7/1).
Agung mengatakan, operasi pasar itu dilakukan di seluruh Jawa. Sebab, masalah tingginya harga tempe dan tahu tidak hanya terjadi di Jakarta dan Jawa Barat, tapi cukup luas di provinsi lain wilayah Jawa.
Pakar Pertanian dari Universitas Padjajaran, Ronnie Natawidjaja, mengatakan, petani saat ini dihadapkan pada kondisi dilematis lantaran rendahnya harga kedelai lokal. Kedelai lokal dihargai beragam dari Rp 6.000 hingga Rp 9.000 per kg.
Rentang harga itu, sejatinya lebih tinggi dari rata-rata harga normal kedelai impor yang sekitar Rp 6.000 per kg hingga Rp 7.000 per kg. Namun, menurut Ronnie tetap tidak menguntungkan bagi petani.
"Harga itu tidak menguntungkan bagi petani dan sifatnya hanya tanaman penyelang setelah padi di musim kemarau," kata Ronnie.
Lagipula dibandingkan kedelai, lanjut Ronnie, jagung yang juga menjadi tanaman penyelang setelah padi jauh lebih menguntungkan. Sebab, jagung memiliki pasar yang besar, yakni industri pakan unggas yang telah berkembang pesat.
"Jadi kedelai itu sudah jatuh tertimpa tangga menurut saya," kata Ronnie.