EKBIS.CO, JAKARTA -- Wacana mengubah kebijakan kewajiban spin off bagi Unit Usaha Syariah (UUS) perbankan memiliki sejumlah sisi positif dan negatif.
Peneliti Ekonomi Syariah INDEF, Fauziah Rizki Yuniarti menyampaikan, isu ini sebenarnya selalu diangkat setiap tahun sejak 2008. "Saya rasa harus ada insentif yang kuat dari pemerintah untuk UUS menjadi BUS," kata Fauziah kepada Republika, Kamis (28/1).
Independensi memang menjadi kunci utama yang didapatkan jika menjadi BUS. Independensi dalam mengembangkan produk, jasa, dan lainnya. Dengan menjadi BUS dan masuk BUKU III, bank juga mendapat kemungkinan pendanaan yang lebih luas dan murah dan pengembangan bisnis.
Namun, menurutnya saat ini UUS masih menilai independensi tersebut tidak cukup sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi BUS. Biaya untuk menyiapkan segala proses, biaya untuk menjadi independen, dan lainnya.
Pemerintah sendiri sudah cukup kuat menunjukkan intervensinya terhadap perbankan syariah dengan melakukan merger tiga BUS besar. "Perlu juga dikaji seberapa penting dan mendesak pemerintah melakukan intervensi di UUS," kata dia.
Dari sisi positif, ini kebijakan spin off secara sukarela baik untuk kesiapan UUS. UUS akan spin off saat mereka benar-benar siap, siap untuk menjadi BUS yang kuat, siap infrastruktur, sistem TI termasuk e-banking, jaringan, SDM, research and development atas produk dan jasanya, modal, dan pendanaan.
Karena selama ini UUS selalu didukung oleh perusahaan induknya, jadi akan butuh kesiapan dan totalitas yang sangat matang untuk benar-benar independen.
Namun di sisi negatifnya, tidak tentu kapan mereka akan menjadi BUS sebab tidak ada insentif yang kuat bagi UUS untuk melakukan spin off. Fauziah menilai, mungkin UUS melihat spin off kemudian menjadi beban karena harus lepas dari induk.