EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia terus mendorong agar perbankan segera menurunkan suku bunga kreditnya. Penurunan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) menjadi 3,5 persen pada hari ini, Kamis (18/2) maka BI sudah turunkan 150 basis poin (bps) sejak 2020 dan capai titik terendah sejak 2013.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan penurunan suku bunga kebijakan moneter dan longgarnya likuiditas mendorong suku bunga terus menurun. Meskipun penurunan suku bunga kredit perbankan perlu terus didorong.
Longgarnya likuiditas dan penurunan BI7DRR sebesar 125 bps sepanjang 2020 mendorong rendahnya rata-rata suku bunga PUAB overnight sekitar 3,04 persen. Suku bunga deposito satu bulan juga telah menurun sebesar 181 bps ke level 4,27 persen pada Desember 2020.
"Namun demikian, penurunan suku bunga kredit masih cenderung terbatas, yaitu hanya sebesar 83 bps ke level 9,70 persen selama tahun 2020," katanya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur BI.
Lambatnya penurunan suku bunga kredit disebabkan oleh masih tingginya suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan. Selama tahun 2020, di tengah penurunan suku bunga kebijakan BI7DRR dan deposito satu bulan, SBDK perbankan baru turun sebesar 75 bps menjadi 10,11 persen.
Hal ini menyebabkan tingginya spread SBDK dengan suku bunga BI7DRR dan deposito satu bulan masing-masing sebesar 6,36 persen dan 5,84 persen. Dari sisi kelompok bank, SBDK tertinggi tercatat pada bank-bank BUMN sebesar 10,79 persen, diikuti oleh BPD 9,80 persen, bank umum swasta 9,67 persen dan bank asing 6,17 persen.
Dari sisi jenis kredit, SBDK kredit mikro tercatat paling tinggi yakni 13,75 persen, kredit konsumsi non-KPR 10,85 persen, kredit konsumsi KPR 9,70 persen, kredit ritel 9,68 persen, dan kredit korporasi tercatat 9,18 persen. Perry berharap perbankan dapat mempercepat penurunan suku bunga kredit.
"Sebagai upaya bersama untuk mendorong kredit dan pembiayaan bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi nasional," katanya.
Kondisi pandemi juga membuat sisi permintaan kredit pembiayaan terus melemah. Perry mengatakan permintaan kredit dunia usaha dan masyarakat juga harus didorong baik dengan insentif perpajakan maupun kebijakan kelonggaran lainnya.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), menurutnya bersinergi dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendukung. Baik dari sisi fiskal pemerintah, BI, maupun OJK dan LPS. Sembari menggencarkan upaya penanganan pandemi dengan percepat program vaksinasi.
"Penanganan pandemi bisa meningkatkan mobilitas insya Allah dengan tetap protokol kesehatan, sehingga aktivitas ekonomi dan keuangan bisa naik, dorong kredit dan pembiayaan lagi," katanya.
Dengan penurunan suku bunga menjadi 3,5 persen, maka ruang kebijakan suku bunga acuan menjadi lebih terbatas. Namun BI punya instrumen kebijakan lain yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi ekonomi seperti pelonggaran makroprudensial, hingga digitalisasi.