EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah menyadari penyaluran subsidi listrik maupun LPG selama ini tidak tepat sasaran. Hingga saat ini pemerintah mengaku masih mencari formula yang pas terkait penyaluran subsidi ini.
Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ruddy Gobel menjelaskan, proses kajian dan uji coba berbagai skema penyaluran subsidi tertutup sudah dilakukan pemerintah sejak 2019 lalu. Dari semua skema yang dicoba, pemerintah memutuskan untuk membuat penyaluran subsidi melalui satu kartu subsidi.
Pemerintah sepakat membuat penyaluran subsidi secara nontunai. "Tapi pelaksanaannya sepertinya baru akan berlangsung pada 2022 atau paling lambat 2023 mendatang," ujar Ruddy dalam sebuah diskusi virtual, kemarin.
Ruddy mengakui proses penemuan skema yang tepat ini tidak mudah. Persoalan sinkronisasi data menjadi tantangan utama dalam proses ini.
"Pertama, kita butuh data yang jelas. Datanya sudah ada, tapi kita butuh waktu untuk data itu medaftarkan semua dengan baik. Kedua, kita butuh mekanisme yang jelas," ujar Ruddy.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Karacibu menjelaskan, subsidi dari tahun ke tahun memang membebani APBN. Kompensasi tarif listrik yang harus dibayarkan pemerintah ke PLN saja sejak 2017 ke 2020 terus naik, dari Rp 53,34 triliun menjadi Rp 79 triliun.
Hal yang sama juga terjadi pada subsidi LPG. Dari tahun ke tahun angka konsumsi terus meningkat dan berpengaruh pada jumlah subsidi yang harus dibayarkan pemerintah ke Pertamina.
Namun, kata Febrio, yang paling efektif adalah memasang harga LPG dan listrik sesuai harga pasar. Nantinya, kepada masyarakat yang memang tidak mampu, pemerintah akan memberikan subsidi tersebut melalui skema nontunai.
"Skeman nontunai ini yang sedang kami rancang agar nantinya benar-benar bisa digunakan masyarakat untuk membayar LPG dan listrik bukan untuk kebutuhan lainnya," ujar Febrio.