Misbakhun juga memandang, urgensi pembentukan RUU Sektor Keuangan tidak begitu mendesak, terlebih Indonesia masih menghadapi pandemi covid-19. Menurutnya, ruang kordinasi antar lembaga pengawas masih bisa ditangani oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan tidak perlu merubah susunan pengawasan.
Dia menyatakan, dalam penyelesaian krisis ekonomi harus memiliki leadership yang kuat. Terlebih, pemerintah telah memiliki KSSK yang semua peran sudah dipegang oleh masing-masing regulator. Dirinya juga mengingatkan agar menteri keuangan tidak mengambil jalan pintas dengan merubah UU dan mengambil kekuasaan sektor moneter dan keuangan yang dapat membahayakan sistem keuangan.
“Apa yang kurang dari KSSK? Apa KSSK ada problem kepemimpinan? Ini masalahnya. makanya tadi saya sampaikan, masalahnya diselesaikan dengan leadership. Ini yang harus menjadi pemahaman kita, jangan sampai kita ingin tiba tiba ada masalah dan Undang-Undangnya diubah seakan-akan itu masalahnya permanen dan kekuasaan (moneter) diambil,” tegas Misbakhun
Dia bahkan menyatakan, jika kekuasaan pengaturan moneter maupun fiskal menumpuk disatu titik maka kinerja Pemerintah dikhawatirkan akan semakin tidak efisien. “Ada masalah lagi kekuasaan diambil, kekuasaan menumpuk di satu tempat tapi tidak efektif dan tidak efisien, itu berbahaya,” paparnya.
Sementara Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani berpendapat, selain Bank Indonesia dan OJK, lembaga independen seperti LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) perlu adanya peran yang lebih luas dari lembaga ini, guna mengantisipasi permasalahan lembaga keuangan di masa krisis.
Apalagi, dirinya melihat secara historis rentang waktu terjadinya krisis semakin lama semakin pendek. Oleh karena itu, menurutnya sektor keuangan harus dibuat kebijakan yang lebih mampu mengantisipasi ketika krisis itu terjadi.
Selama ini UU LPS hanya membolehkan lembaga tersebut melakukan penanganan setelah bank sudah dinyatakan gagal. Imbasnya, negara merogoh kocek lebih dalam untuk menyehatkan bank.
“Pengalaman kemarin banyak investor mau ambil bank, tapi maunya yang good asset. Bad assetnya yang tidak mau. Karena tidak bisa dilakukan, maka banyak investor tidak jadi ambil bank,” ucap Aviliani.