EKBIS.CO, OLEH Dedy Darmawan Nasution
Di tengah tantangan berat bagi Perum Bulog pascakehilangan pasar dalam program bantuan beras, ketahanan pangan, terutama beras tetap mutlak harus diwujudkan. Tak hanya di Jawa, penyediaan beras yang kadung menjadi makanan utama masyarakat nasional harus disiapkan hingga ke Timur Indonesia.
Sensus Penduduk BPS 2020, mengemukakan jumlah total masyarakat Indonesia sebanyak 270,20 juta jiwa. Itu menunjukkan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,25 persen dalam dekade terakhir. Dari angka itu, ada 8,5 juta penduduk di Indonesia bagian timur serta 43,4 juta di bagian tengah yang membutuhkan akses pangan.
Pemerintah ingin agar stabilitas pasokan dan harga pangan tetap terjaga. Terlebih di masa pandemi yang menguras banyak energi masyarakat. Tak hanya harga, aksesibilitas terhadap pangan murah perlu diwujudkan secara nasional.
Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, mengatakan, pihaknya terus mengupayakan penyerapan gabah atau beras petani pada masa musim panen pertama tahun ini. Hingga Juni 2021, ditargetkan total stok cadangan beras yang tersimpan sebanyak 1,4 juta ton, terdiri dari cadangan beras pemerintah serta beras komersial. Itu sesuai instruksi pemerintah untuk menjaga stok 1-1,5 juta ton setiap bulan di gudang.
Ia memastikan, upaya penyerapan tetap digencarkan. Sekalipun pada tahun ini Bulog belum mendapatkan kepastian hilirisasi cadangan beras. Kecuali hanya lewat operasi pasar dan tanggap darurat bencana yang rata-rata jumlahnya hanya berkisar 50 ribu ton per bulan.
"Kami tetap menyerap sebanyak mungkin karena kami masih sanggup menyerap," kata Buwas, sapaan akrabnya, beberapa waktu lalu.
Upaya Bulog dengan melakukan penyerapan tanpa henti setidaknya berdampak langsung pada ketersediaan beras dalam skala nasional. Sentra produksi yang didominasi di wilayah Barat atau sebut saja Jawa, bisa dimobilisasi hingga ke pelosok-pelosok Indonesia bagian tengah dan timur yang tak banyak punya banyak sentra beras.
Di Papua dan Papua Barat, misalnya, ketahanan beras Bulog mencapai 4-5 bulan atau sangat cukup. Plt Pimpinan Bulog Kanwil Papua dan Papua Barat, Mohamad Alexander, menuturkan, sentra beras Pulau Papua sebetulnya hanya ada di Manokwari, Papua Barat. Namun, ketahanan beras yang cukup kuat itu bisa dicapai berkat produksi beras di Jawa Timur dan Sulawesi yang diserap Bulog.
Dengan ketahanan itu, kelangkaan beras bisa dihindari sehingga stabilisasi harga terjaga. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) pun mencatat, harga beras medium I provinsi Papua stabil sebesar Rp 12.350 per kilogram (kg) dalam sepekan terakhir. Begitu pula di Papua Barat yang stabil pada harga Rp 13.750 per kg.
Alexander menjelaskan, Bulog Papua dan Pabar punya 10 cabang dan 5 cabang pembantu dari Sorong hingga Merauke. Itu agar kegiatan distribusi beras bisa lebih cepat dan lancar sehingga akses masyarakat untuk pangan lebih mudah.
Soal penyerapan, menurutnya rata-rata kemampuan menyerap beras hingga 100 ton per hari. Penyerapan ditargetkan langsung pada produk beras lantaran petani biasanya memanfaatkan produk sampingan gabah untuk dijadikan dedak yang bernilai ekonomi.
"Kita mengacu pada tiga pilar, menjaga ketersediaan pasokan, keterjangakuan, dan stabilisasi harga," kata Alexander kepada Republika.co.id.
Sama halnya di Nusa Tenggara Timur, Pimpinan Bulog Kanwil NTT, Asmal, menyebut, meski baru dihadapkan pada bencana banjir bandang di tengah pandemi Covid-19, situasi perberasan cukup aman. Itu karena penerapan strategi pengamanan beras serta evaluasi secara berkala.
"Kita menjaga persediaan beras dengan ketahanan 4-6 bulan. Itu tidak boleh kurang," ujar Asmal.
Ia menjelaskan, 90 persen persediaan beras Bulog di NTT merupakan hasil dari perpindahan beras nasional dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan yang surplus. Namun, penyerapan produksi lokal tetap dilakukan untuk menambah ketahanan beras.
Evaluasi pergerakan beras tiga bulan sekali cukup efektif untuk menghindari defisit beras. Manajemen stok yang diterapkan yakni 1/3 pasokan di gudang, 1/3 stok di laut untuk pengiriman, dan 1/3 pasokan lainnya dalam persiapan pengangkutan. "Perputaran beras cepat sekali dan saling mengisi," katanya menambahkan.
Cadangan beras yang tersimpan tak hanya untuk mengamankan pusat-pusat kota. Namun, kata Asmal, pelosok hingga remote area tetap menjadi kontrol Bulog agar masyarakat bisa menikmati beras dengan harga murah. Konsumen juga bebas memilih antara kualitas medium dan premium karena penduduk punya preferensi berbeda terhadap pangannya.
Dua wilayah itu setidaknya mencerminkan ketahanan beras yang cukup kuat dan bisa dirasakan masyarakat hingga ke wilayah pinggiran. Meski di sisi lain, Bulog harus mengeluarkan upaya lebih untuk menjaga jutaan cadangan beras secara total yang penggunaannya masih tanda tanya.
Persoalan itu muncul lantaran pasar beras sebanyak 2,6 juta setiap tahun hilang pasca pemerintah mengubah mekanisme bantuan pangan. Sementara pasar hilang, pengadaan cadangan beras pemerintah tak boleh berhenti meski penggunaanya mesti melalui serangkaian keputusan.
Semestinya ada pola yang adil bagi Bulog, antara menjaga ketahanan pangan dan memastikan operasional perusahaan yang sehat.
Khudori, Pengamat Pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengatakan, sejak Bulog berstatus sebagai Perum sejak 2003, ada sembilan kementerian yang membawahi Bulog dalam urusan ketahanan pangan. Tentu saja, masing-masing lembaga punya dasar berpikir yang berbeda-beda sehingga membuat Bulog kesulitan dalam mengeksekusi kebijakan.
Menurutnya Indonesia bisa melihat Filipina dan Malaysia di mana ada satu lembaga khusus yang mengurus pangan sekaligus kebijakan intervensi yang harus ditempuh bila ada kegaduhan.
Hal itu pun sejalan dengan rencana pemerintah membentuk Badan Pangan Nasional yang semestinya sudah dibentuk pada 2015 lalu pasca UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Seperti diketahui, Bulog diharapkan bisa bertransformasi menjadi Badan Pangan Nasional.
Sementara itu, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menilai bahwa kelembagaan pangan yang diterjemahkan sebagai Badan Pangan Nasional harus punya fungsi kewenangan yang berorientasi pada ketahanan dan kemandirian pangan.
Badan pangan menurutnya harus punya kewenangan koordinasi. Ia mencontohkan, saat ini terdapat Badan Ketahanan Pangan di bawah Kementerian Pertanian. Namun, lembaga tersebut tak punya fungsi koordinasi.
Fungsi koordinasi justru dimiliki Kementerian Koordinator Perekonomian. Namun, dalam tahap implementasi lembaga itu juga tak punya kendali bahkan dalam hal penyediaan anggaran. "Harus ada kewenangan koordinasi yang dimiliki badan pangan," kata dia.
Selanjutnya, perlu ada kewenangan dalam hal anggaran yang memadai. Sebab, jika hanya berkutat pada regulasi tetap akan sulit dalam mengambil langkah kebijakan pangan. "Terakhir harus ada kontrol dan keterlibatan publik," kata Said.
Tentu saja, dengan operasional Bulog yang lebih sehat, menjaga ketahanan pangan dapat lebih optimal ke depan. Efisiensi pengelolaan beras bisa ditingkatkan. Apalagi, dengan melihat tren populasi Indonesia yang terus bertambah, penyediaan pangan pokok wajib mampu mengimbangi kebutuhan.