EKBIS.CO, JAKARTA -- Bareksa Prioritas menyarankan investor untuk rebalancing portofolio pada era pemulihan ekonomi. Pasar saham Indonesia diprediksi menguat tahun ini didukung faktor global dan domestik.
Perbaikan dari krisis pandemi tahun lalu didukung oleh membaiknya data-data makroekonomi. Kinerja keuangan emiten pada periode kuartal I-2021 membaik dibarengi perbaikan harga komoditas, serta proses vaksinasi yang terus berjalan membuat pasar saham menjadi sangat atraktif pada tahun ini.
Oleh karena itu, Bareksa Prioritas menyarankan investor High Net Worth Individuals (HNWI) untuk melakukan rebalancing ke reksadana saham dan pendapatan tetap, yang disesuaikan dengan profil risiko investor. Direktur Bareksa Prioritas, Ricky Rachmatulloh menyarankan investor dapat mempertimbangkan untuk menambah porsi pada instrumen aset yang lebih agresif (risk-on).
"Melihat adanya beberapa faktor yang menjadi indikasi pemulihan ekonomi, investor dapat menambah porsi pada instrumen yang lebih agresif," katanya dalam keterangan, Selasa (20/4).
Meskipun pada kuartal pertama tahun ini pasar saham masih terlihat volatil, investor dengan profil risiko agresif saat ini bisa memanfaatkan momentum untuk mendapatkan peluang yang lebih menarik dan atraktif di pasar saham. Salah satunya dengan menempatkan atau menambahkan portofolionya di reksadana saham.
Membaiknya data ekonomi mendorong aliran modal asing masuk ke Indonesia pada pasar saham. Tercatat hingga 24 Maret 2021, aliran modal asing masuk (capital inflow) sebesar Rp 13,3 triliun.
Dari sektor komoditas, Chief Research and Business Development Bareksa, Ni Putu Kurniasari juga menjelaskan bahwa pasar saham Indonesia mulai bangkit setelah tertekan pada tahun lalu. Saham-saham berbasis komoditas, seperti minyak sawit mentah (CPO), minyak mentah dan batu bara, bisa menopang pergerakan pasar saham seiring dengan meningkatnya harga komoditas.
"Perbaikan harga komoditas seperti minyak sawit mentah dan minyak Brent menjadi salah satu indikator yang mengindikasikan pemulihan ekonomi," katanya.
Apalagi menjelang masuknya bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, tingkat konsumsi biasanya naik dan mendorong permintaan serta harga komoditas. Sementara itu, pasar obligasi negara sempat tertekan sepanjang kuartal pertama tahun ini, seiring dengan meningkatnya imbal hasil (yield) US Treasury dengan tenor 10 tahun yang sempat menyentuh 1,77 persen.
Hal ini memicu keluarnya dana asing (outflow) dari pasar surat berharga negara Indonesia senilai Rp 22 triliun hingga Maret 2021. Outflow tersebut turut mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang melemah sekitar 3,5 persen selama tahun berjalan ke level Rp 14,572 per dolar AS per 31 Maret 2021.
Namun, kenaikan imbal hasil SBN Indonesia seri acuan diperkirakan akan terbatas karena valuasinya terbilang sudah murah. Sehingga ini menjadi peluang bagi investor untuk mengambil posisi reksadana pendapatan tetap yang mayoritas asetnya adalah obligasi negara atau SBN.
Per akhir Maret 2021, yield SBN tenor 10 tahun Indonesia berada di kisaran 6,8 persen, sehingga tingkat imbal hasil instrumen pendapatan tetap Indonesia masih menjadi yang tertinggi di antara negara-negara kawasan Asia lainnya. Selain itu, spread dari tingkat yield obligasi negara atau SBN tenor 10 tahun dengan yield obligasi Amerika Serikat (AS).
Treasury tenor 10 tahun pada kisaran 5-6 persen, menambah rasional mengapa SBN Indonesia menjadi lebih menarik dibandingkan negara Emerging Markets lain. Dengan tingkat imbal hasil SBN saat ini, pasar obligasi terbilang cukup menarik, menimbang real yield yang ditawarkan oleh obligasi berdenominasi rupiah ini.