EKBIS.CO, BOGOR -- Pengelolaan isu pangan di Indonesia masih belum menjadi kebutuhan publik karena masih dilakukan dengan pendekatan reaktif. Sikap reaktif tersebut ditandai dengan narasi-narasi yang muncul setiap kali ada peristiwa bernada negatif seperti halnya persoalan gagal panen maupun impor pangan.
"Padahal pangan itu menghadirkan banyak isu yang bisa dikelola untuk kepentingan bersama. Di sinilah harusnya didorong bagaimana membawa isu pangan ini bisa masuk ke ruang dapur mereka (audiens) untuk menghadirkan kepentingannya," kata Dr Firsan Nova, pakar komunikasi dari Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication, dalam acara bincang pangan yang digelar oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) secara virtual belum lama ini di Bogor.
Firsan mengatakan untuk membangun kesadaran terhadap pentingnya isu pangan itu maka ada dua hal penting yang harus dinarasikan. Keduanya adalah ketakutan (fear) dan harapan (hope). Kekuatan narasi inilah yang dilakukan oleh politisi Amerika, Al Gore, ketika mengkampanyekan isu tentang perubahan iklim (climate change).
"Di sini kita tidak hanya bicara ketika ada peristiwa atau dampak seperti kegagalan panen. Tapi mulai membicarakan untuk masa yang akan datang. Inilah yang dilakukan oleh Al Gore dalam kampanye climate change yang mengglobal itu," katanya.
Perihal belum masuknya isu pangan ke dalam isu arus utama (mainstream), Firsan melihat masih adanya jarak dengan publik secara umum. Pada tahap inilah, kata dia, dibutuhkan aktivitas public relations dalam mengelola fakta maupun isu yang hendak disampaikan ke ruang domestik.
"Jika isu itu tidak masuk ke wilayah domestiknya maka mereka akan abai. Inilah yang terjadi pada isu pangan kita sekarang," ujar penulis buku Public Relations Crisis (PR Crisis) ini.
Sementara itu Said Abdullah, koordinator KRKP, melihat perlunya kolaborasi lintas pihak untuk membuat persoalan pangan ini bisa menjadi isu publik yang dibutuhkan.
"Mungkin juga perlu dipertimbangkan untuk melahirkan cabang baru bernama Komunikasi Pangan agar membuat persoalan pangan ini bisa lebih diterima di kalangan yang lebih masif, khususnya di kelompok perkotaan," ujarnya.