EKBIS.CO, JAKARTA -- Serbuan impor ayam dari Brazil mulai menghantui Indonesia pascakekalahan dalam sengketa perdagangan di Badan Perdagangan Dunia (WTO). Meski begitu, pemerintah mengakui terus melakukan berbagai upaya untuk menjegal masuknya ayam Brasil.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdalifah Machmud, mengatakan, situasi perdagangan dunia yang semakin bebas harus segera ditangani. Ia pun tak menampik ancaman impor ayam Brasil menjadi salah satu perhatian utama pemerintah.
"Kita terus rapat untuk mengatasi (sengketa) di WTO, konsultasi dengan WTO, untuk menjaga supaya ayam mereka (Brasil) jangan masuk ke kita," kata Musdalifah di Jakarta, Kamis (22/4).
Ia mengatakan, produksi ayam baik broiler maupun layer di dalam negeri sangat mencukupi bahkan surplus. Swasembada ayam juga sudah dicapai Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.
Jika pasokan impor masuk, dapat dipastikan akan menganggu stabilitas industri perunggasan dalam negeri karena persaingan yang ketat dalam memperebutkan pasar. "Ayam tidak pernah impor, kalau sekarnag kita buka, habis kita," katanya.
Lebih lanjut, Musdalifah mengatakan, sembari upaya penjegalan masuknya impor daging ayam Brasil ke Indonesia, efisiensi produksi harus terus dilakukan oleh industri dalam negeri. Pembaruan sistem-sistem peternakan seperti kandang tertutup perlu terus dilakukan untuk menghasilkan produksi yang lebih besar namun dengan biaya produksi yang lebih hemat.
Namun di satu sisi, masyarakat juga perlu diedukasi untuk mau mengonsumsi daging beku. Hal itu perlu agar surplus ayam yang dicapai saat ini bisa seluruhnya terserap oleh pasar.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Syailendra, mengatakan, banyak produsen ayam di dunia yang mengincar pasar Indonesia. Namun, hal itu bisa dicegah lantaran kekuatan produksi dalam negeri yang sangat mencukupi kebutuhan.
Khusus kasus sengketa dengan Brasil, Syailendra mengatakan, pemerintah Indonesia saat ini terus melakukan banding. Tujuannya agar serbuan tersebut bisa ditunda. "Sekarang kita banding. Tapi kalau diserang terus ya satu, dua tahun rubuh juga," katanya.
Senada dengan Musdalifah, Syailendra mengatakan, pihak yang bisa menjawab tantangan ke depan adalah industri perunggasan itu sendiri. Efisiensi produksi, mulai dari bibit ayam hingga pakan mau tidak mau harus dilakukan.
Selain itu, biaya pakan yang berkontribusi 60 persen terhadap harga ayam harus terus diturunkan. Hal itu bisa dilakukan dengan mencari alternatif-alternatif bahan baku pakan sehingga tidak tergantung pada satu bahan yang rentan mengalami fluktuasi harga.
"Misalnya jagung yang saat ini naik, bisa diganti dengan sorgum atau lainnya. Cuma memang ini butuh waktu," kata dia.