EKBIS.CO, JAKARTA -- Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya menyebutkan ada tiga masalah utama yang dihadapi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), sehingga membuat kinerja perusahaan memburuk dan akhirnya perlu direstrukturisasi.
Koordinator Juru Bicara Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya R Mahelan Prabantarikso mengatakan terjadinya gagal bayar industri asuransi tanah air termasuk Jiwasraya, karena tidak optimalnya penerapan manajemen risiko dalam perusahaan. Maka itu penting adanya prinsip kepatuhan dan tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG).
“Permasalahan Jiwasraya meliputi masalah fundamental, kurangnya GCG, dan tekanan likuiditas dari produk saving plan. Hal itu kemudian terakumulasi dan membuat Jiwasraya kesulitan. Jiwasraya gagal bayar, solvabilitas dan likuiditas itu mereka tidak sanggup membayar sebagaimana, atau mungkin mengembalikan manfaat yang dijanjikan kepada pemegang polis,” ujarnya saat konferensi pers virtual, Selasa (27/4).
Menurutnya ketika terdapat masalah solvabilitas dan likuiditas yang terjadi sejak lama dan tidak diselesaikan dengan solusi yang tepat. Perusahaan justru melakukan window dressing laporan keuangan untuk menyelesaikan masalah solvabilitas, dan mengeluarkan produk asuransi investasi bergaransi bunga tinggi untuk mengatasi likuiditas.
Dari catatan Mahelan, terdapat sembilan jenis risiko yang mungkin akan dihadapi oleh perusahaan asuransi diantaranya risiko reputasi, risiko kepatuhan , risiko strategis, risiko operasional, risiko hukum, risiko pasar, risiko kredit, risiko asuransi sampai kepada risiko likuiditas.
“Nah, risiko utama yang sedang dihadapi oleh Jiwasraya adalah risiko asuransi, risiko likuiditas dan risiko reputasi,” ucapnya.
Kondisi itu diperparah dengan lemahnya praktik GCG, tidak ada portfolio guideline yang mengatur investasi maksimum pada high-risk asset. Permasalahan ketiga tekanan pada produk saving plan yang menjanjikan sembilan persen sampai 14 persen.
“Saat itu kalau kita mau investasi perbankan, rata-rata pada posisi delapan persen atau sembilan persen. Ini suatu hal yang kami sampaikan posisi yang ada, sehingga Jiwasraya mengumumkan gagal bayar,” ungkapnya.
Untuk menyelesaikan permasalahan Jiwasraya itu, pemerintah selaku pemegang saham membentuk Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya. Adapun tim tersebut lintas unit seperti dari Kementerian BUMN, unsur Jiwasraya, dan dari IFG Life sebagai calon induk perusahaan.
Tugas Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya itu ialah meminimalisir masalah yang ada, dan menyelamatkan polis Jiwasraya yang harus diselesaikan. Adapun beberapa langkah sudah dilakukan untuk memenuhi janji sebagian, seperti menerbitkan REPO, menjual aset dan mengembalikan kepada pemegang polis saat itu.
“Namun, lambat laun posisi itu tidak memungkinkan untuk berdarah terus karena negatif ekuiti yang cukup besar. Liabilities Rp 58,7 triliun, sementara aset sekitar Rp 13 triliun sampai Rp 14 triliun, sehingga terjadi negatif Rp 38,7 triliun,” ucapnya.
Seperti yang diketahui, akibat salah kelola asuransi dalam penempatan investasi yang dilakukan oleh manajemen lama Jiwasraya, perusahaan saat ini mengalami tekanan liabilitas (kewajiban perusahaan kepada pemegang polis) yang sampai pada Desember 2020 mencapai Rp 54 triliun, sehingga ekuitas negatif Jiwasraya sebesar Rp 38,7 triliun.
Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank (LJKNB). Maka begitu, kata Mahelan, sudah sepatutnya perusahaan menerapkan manajemen risiko secara efektif.
Menurut Mahelan cakupan penerapan manajemen risiko yang efektif yakni kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pengendalian dan pemantauan risiko serta sistem informasi manajemen risiko. Adanya cakupan itu, perusahaan asuransi jiwa secara terukur akan melakukan penempatan investasi dengan maksimal dan penuh kehati-hatian.
“Melalui manajemen risiko ini, perusahaan asuransi jiwa harus tetap memperhatikan return dari aset investasinya dan perlu melakukan penyepadanan antara kewajiban atas produk dengan aset yang dimiliki,” ungkapnya.
Pelaksanaan manajemen risiko akan lebih kuat apabila perusahaan juga menerapkan good corporate governance (GCG). Mahelan menyebut penerapan GCG penting dilaksanakan pada semua aspek bisnis dan jajaran perusahaan, sebagai upaya menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis.
“Melalui GCG, perusahaan harus mempertanggungjawabkan kinerja secara transparan dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar dan terukur serta mematuhi peraturan perundang-undangan dengan melaksanakan tanggung jawab kepada masyarakat dan lingkungan,” ucapnya.
Tak hanya GCG, dibutuhkan juga framework risiko dalam tata kelola perusahaan atau governance risk compliance (GRC). Mahelan menilai perusahaan yang telah mengintegrasikan proses dan teknologi GRC akan mendapatkan manfaat dalam meningkatkan kemampuan perusahaan untuk membuat keputusan secara lebih cepat dan tepat.
“Dengan ini, perusahaan juga bisa meningkatkan kemampuan dalam menjalankan proses secara konsisten, serta bisa mengurangi aktivitas yang sama atau duplikasi. Bahkan sampai pada level efisiensi biaya,” ungkapnya.