EKBIS.CO, JAKARTA -- Cabai rawit merupakan salah satu dari sebelas komoditas pangan strategis di Indonesia. Namun ketersediaannya yang fluktuatif serta tidak realistisnya impor cabai segar untuk menjaga kestabilan harga menjadikan penggunaan lemari pendingin atau cold storage solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani, mengatakan, harga cabai rawit berfluktuasi mengikuti masa panen, biasanya enam kali dalam setahun. Penelitian dari Anwarudin, Sayekti, Marendra, & Hilman pada 2015 menyebutkan, harga tinggi umumnya terjadi pada jeda antara masa tanam yaitu di bulan November–Februari.
Namun, Arum mengatakan, harga cabai rawit juga sering anjlok di kala terjadi surplus pasokan pada masa panen raya. Ia mengatakan, diperlukan pendekatan yang menyeluruh atas tata kelola pangan di Indonesia, salah satunya dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat Indonesia pada cabai rawit segar.
Selain sifat cabai yang rentan mengalami pembusukan, kerangka impor pangan di Indonesia yang berbelit-belit juga menambah risiko keluarnya kebijakan impor yang tidak mampu menjawab kebutuhan pasar yang dinamis.
"Salah satu solusi potensial yang dapat dipertimbangkan adalah pengembangan sistem penyimpanan dan rantai dingin di Indonesia," kata dia.
Dengan sistem penyimpanan yang modern dan infrastruktur rantai dingin yang memadai, masa simpan cabai rawit dapat diperpanjang dan dengan demikian dapat membantu menstabilkan harga di pasaran.
Sayangnya, kata Arum, kapasitas sistem penyimpanan dan lemari pendingin di Indonesia belum memadai untuk menjawab kebutuhan pasar sehingga mengakibatkan tingginya tingkat limbah pangan, sekaligus berkontribusi kepada fluktuasi harga pangan di masyarakat.
Laporan ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia), memperlihatkan potensi pemanfaatan ruang penyimpanan dingin di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 17,6 juta ton per tahun namun saat ini kapasitas yang ada hanya mampu menampung 370 ribu ton per tahun.
Kurangnya kapasitas ruang pendingin di Indonesia turut meningkatkan risiko membusuknya komoditas pangan dalam proses distribusi dari petani ke konsumen.
Ia mengungkapkan, The Economist Intelligence Unit (EIU) juga mengatakan limbah pangan. akibat infrastruktur dan fasilitas yang belum memadai mencapai 300 kilogram per orang per tahun.
Selain tingkat limbah yang tinggi, lanjut Arum, kurangnya fasilitas penunjang dalam rantai distribusi cabai juga berkontribusi dalam membuat harga menjadi tidak stabil. Stok cabai rawit yang melimpah di masa panen raya harus langsung dijual, karena kapasitas penyimpanan saat ini hanya mampu mempertahankan kesegaran cabai selama 30 hari.
Akibatnya, surplus stok di pasar menyebabkan harga anjlok dan merugikan petani cabai. Sebaliknya, ketika musim tanam sudah lewat dan produksi tidak stabil, tidak ada stok yang dapat digunakan untuk menstabilkan harga cabai di pasaran. Akibatnya, harga cabai melonjak naik sehingga merugikan konsumen.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk berinvestasi pada lemari pendingin yang modern untuk memperpanjang masa simpan stok cabai rawit,” kata Arum.