EKBIS.CO, Oleh Ali Mashar*
Putus asa dan pesimis merupakan dua hal yang sangat dilarang oleh agama. Allah SWT bahkan menyebut putus asa dan pesimis sebagai ciri-ciri orang zalim. Putus asa dan pesimis merupakan sikap orang yang suka berprasangka buruk kepada Allah. Padahal agama mengajarkan bahwa di balik perkara-perkara yang tidak kita sukai, terkadang justru ada kebaikan yang sangat besar.
Sebagai manusia biasa, tentu orang boleh kecewa jika ia gagal meraih sesuatu, atau ketika keinginanya tidak terwujud. Tetapi putus asa, pesimis, menyalahkan nasib, menyalahkan takdir, atau mencari-cari kesalahan orang serta mengajak orang lain untuk ikut putus asa, bukanlah sikap yang bijak.
Begitu juga ketika memandang dunia atau keadaan sosial di sekitar kita, kita tidak boleh pesimis lalu mengatakan bahwa zaman sudah rusak, manusia sudah binasa, tak ada lagi orang baik, dan ungkapan-ungkapan sejenisnya. Rasulullah SAW pernah bersabda:
إذا قال الرجل : هلك الناس فهو أهلكُهم “Barang siapa mengatakan ‘Umat manusia sudah rusak,’ maka dialah sesungguhnya manusia yang paling bejat.”
Sebagian ulama ada yang membaca “ahlakahum” sehingga artinya “dia itulah yang merusak manusia.” Dalam hadis qudsi, Allah ta’ala berfirman:
يؤذيني ابن آدم يسب الدهر ، وأنا الدهر بيدي الأمر ، أقلب الليل والنهار “Manusia yang mencaci hari (zaman, masa) itu berarti dia menyakitiku, karena akulah sang pemilik masa, segala urusan ada di tanganku, aku yang membolak balikkan siang dan malam.”
Ketika kita punya suatu rencana atau keinginan, lalu ada kendala yang menyebabkan keinginan itu tidak bisa dilaksanakan, kita tidak boleh menganggap bahwa hidup kita telah hancur, lalu mengatakan bahwa manusia sudah rusak, para pejabat tak ada lagi yang baik dan bisa diperaya, negara sudah gagal, dan lain sebagainya. Kita harus selalu ingat bahwa selalu ada hikmah di balik setiap kejadian.
Jika rencana dan cita-cita kita tidak bisa diwujudkan karena Allah menurunkan penyakit (pandemi) yang memiliki dampak di seluruh dunia, orang yang beriman tidak sepatutnya mencaci maki siapapun atau apapun. Kita bukan satu-satunya orang, juga bukan satu-satunya negara yang terdampak pandemi tersebut. Marah-marah dan mencaci maki dalam keadaan seperti ini bukanlah perilaku orang yang beriman.
Jika kita melihat dan menghayati ajaran agama sebagaimana disebutkan dalam dua hadis di atas, orang yang mengatakan misalnya, “negara sudah gagal” dan ungkapan sejenisnya, maka sesungguhnya orang tersebut adalah manusia yang paling gagal.
Gagal hidupnya, atau gagal cita-citanya. Kalau dia mengatakan “saya khawatir negara ini menjadi negara yang gagal,” ketika melihat ada program atau hajat yang tak terlaksana akibat pandemi, sesungguhnya dia telah mengajak orang lain untuk berputus asa dan bersikap pesimis. Sikap yang sangat tercela di dalam agama.