EKBIS.CO, JAKARTA -- Pakar dan Direktur Riset dari University of Technology Sydney, Sven Taske, menyatakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, tidak membutuhkan pengembangan bahan bakar fosil baru karena energi terbarukan lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.
"Setiap investasi baru dalam proyek batu bara, minyak dan gas tidak sejalan dengan Kesepakatan Paris dan kemungkinan besar akan terhenti karena dari sisi ekonomi energi terbarukan lebih menguntungkan, terutama matahari dan angin," kata Sven Taske dalam siaran pers dari Yayasan Indonesia Cerah yang diterima di Jakarta, Jumat (11/6).
Menurut dia, kombinasi energi terbarukan, teknologi penyimpanan, dan bahan bakar terbarukan akan menyediakan pasokan energi yang andal untuk industri, sektor pariwisata, serta untuk bangunan. Selain itu, riset terbaru menunjukkan bahwa negara-negara di dunia tidak membutuhkan pengembangan bahan bakar fosil baru untuk memenuhi permintaan energi primer.
Analisis yang dilakukan The Institute for Sustainable Futures, University of Technology, Sydney, menyebutkan, potensi sumber terbarukan yang ada di seluruh dunia lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dunia selama transisi dan memastikan akses energi 100 persen untuk semua warga. Analisis tersebut menegaskan, bahkan dengan perkiraan konservatif yang memperhitungkan perlindungan lingkungan, kendala lahan, dan kelayakan teknis, energi matahari dan angin dapat memenuhi permintaan energi primer lebih dari 50 kali lipat (berdasarkan permintaan global 2019), yang mengindikasikan bahwa pengembangan bahan bakar fosil baru tak dibutuhkan.
"Semua kawasan, termasuk negara produsen bahan bakar fosil teratas di Amerika Utara, Timur Tengah, dan Asia, memiliki lebih dari cukup energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara di setiap kawasan. Penghapusan bahan bakar fosil tidak akan meninggalkan siapa pun dalam kegelapan dan tanpa akses energi," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Climate Action Network South Asia Sanjay Vashist menuturkan bahwa saat ini tidak ada lagi alasan untuk menunda percepatan penyerapan energi terbarukan dan mengakhiri bahan bakar fosil. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) telah mencapai 13,55 persen per April 2021, meningkat 2,04 persen dalam waktu empat bulan dibandingkan data akhir tahun lalu yang baru 11,51 persen.
"Pembangkit listrik yang datang dari energi baru dan terbarukan yaitu panas bumi 5,6 persen, air 7,9 persen, dan EBT lainnya 0,33 persen. Kalau dijumlahkan hitungan saya itu 13,55 persen," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana dalam konferensi pers yang dipantau di Jakarta, Jumat (4/6).
Berdasarkan kondisi penyediaan infrastruktur tenaga listrik nasional, Indonesia tercatat memiliki energi berkapasitas 72.888 megawatt yang didominasi 86,45 persennya adalah energi fosil. Dari sisi bauran EBT yang hanya 13,55 persen tersebut, pembangkit listrik tenaga air mempunyai porsi paling besar mencapai 6.144 megawatt, panas bumi 2.131 megawatt, dan energi bersih lainnya sebanyak 2.215 megawatt.
Indonesia memiliki komitmen pencapaian bauran energi bersih sebesar 23 persen dengan menargetkan kapasitas terpasang listrik ramah lingkungan dapat mencapai 24 ribu megawatt pada 2025. Dalam upaya mendorong percepatan bauran energi baru dan terbarukan, pemerintah menyiapkan berbagai strategi salah satunya menempatkan matahari sebagai tulang punggung penghasil listrik ramah lingkungan.
Proyek pengembangan energi surya mulai dari pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar di lahan bekas tambang, lahan tidak produktif, pemanfaatan waduk untuk PLTS terapung, pengembangan PLTS atap rumah, hingga inisiasi konversi PLTU ke PLTS.