REPUBLIKA.CO.ID -- Pada akhir pekan lalu (Ahad, 8 Agustus 2021), Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memaparkan kondisi ekonomi Indonesia dan kinerja sektor finansial yang menjadi otoritas OJK. Sejumlah jurnalis ekonomi nasional hadir pada forum diskusi yang berlangsung selama tiga jam secara virtual itu.
Beberapa poin penting dari diskusi dengan Ketua OJK ini terangkum dalam wawancara tanya jawab di bawah ini, termasuk sejumlah isu yang disampaikan jurnalis Republika.
Ekonomi Indonesia tumbuh pada kuartal II 2021 sebesar 7,07 persen. Namun ini bukan lagi isu yang perlu dibahas mendalam. Tantangannya ada pada pertumbuhan pada kuartal III 2021. Bagaimana OJK melihat momentum ini?
Momentum penguatan kinerja ekonomi global dan kebijakan countercyclical pemerintah serta kebijakan moneter dan sektor keuangan yang akomodatif telah mampu mendorong berlanjutnya arah pemulihan ekonomi nasional.
Capaian PDB TW II-2021 (7,07 persen yoy-year on year) merupakan sinyal positif perbaikan ekonomi yang disambut baik pasar dengan meningkatnya IHSG level 6.205,42 pada penutupan pasar hari tersebut (5 Agustus 2021).
Pertumbuhan pada triwulan II-2021, didorong oleh belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pada triwulan tersebut.
Realisasi belanja negara yang tumbuh relatif tinggi (9,38 persen, yoy) pada semester I 2021, baik dalam bentuk belanja barang, program bansos, maupun belanja modal memberikan dorongan yang cukup signifikan pada komponen PDB dari sisi pengeluaran. Hal ini mendorong peningkatan konsumsi pemerintah sebesar 8,06 persen (yoy).
Konsumsi masyarakat, yang mencakup sekitar 55% dari total PDB, mampu tumbuh 5,93%. Selain faktor base effect momentum Ramadan dan hari raya Idul Fitri, berbagai kebijakan pemerintah dalam mendukung daya beli masyarakat melalui pelonggaran mobilitas, program bansos, diskon tarif listrik, insentif PPnBM kendaraan bermotor, insentif PPN untuk perumahan, serta relatif terkendalinya inflasi, telah berperan besar mendorong konsumsi masyarakat.
Bagaimana prospek pertumbuhan ekonomi ke depannya?
Prospek pemulihan ekonomi nasional ke depan sangat terkait erat dengan proses penanganan dan pengendalian pandemi Covid-19. Memasuki triwulan III 2021, perekonomian nasional dihadapkan pada tantangan meningkatnya penyebaran varian Delta Covid-19.
Peningkatan kasus positif dan kematian Covid-19 yang disebabkan varian Delta telah mendorong diberlakukannya pembatasan mobilitas (PPKM Darurat). Penerapan PPKM Darurat diprakirakan mengurangi aktivitas ekonomi, khususnya konsumsi, investasi, dan ekspor.
Secara sektoral, PPKM Darurat juga akan berdampak pada sektor-sektor yang bergantung pada mobilitas masyarakat, seperti perdagangan, transportasi, serta hotel dan restoran. Oleh karena itu, penyebaran varian Delta Covid-19 tersebut dapat menjadi downside risk bagi outlook pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua tahun 2021.
Namun demikian, kami akan terus mendukung berbagai upaya mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi saat ini, anatra lain: Mendukung rencana percepatan serapan belanja pemerintah, terutama pemerintah daerah, dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah.
Pemerintah daerah diharapkan dapat mendorong ekonomi daerah yang berbasis pertanian dan perkebunan, dengan meningkatkan penyaluran KUR Pertanian yang telah menjadi sektor prioritas.
Juga, meningkatkan kontribusi selain konsumsi (masyarakat maupun pemerintah) dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi agar tercipta pertumbuhan yang lebih stabil dan berkesinambungan.
Dan, mendorong sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan berorientasi ekspor, dan ramah lingkungan yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah di bidang perubahan iklim (climate change dan sustainable finance).
Terkait sektor keuangan dan pasar modal di Indonesia, bagaimana OJK mendorong industri ini meningkatkan kontribusinya dalam membantu pemulihan ekonomi nasional?
Sektor jasa keuangan secara umum dalam kondisi stabil, indikator prudensial terjaga dan kinerja TW II-2021 meningkat. Di Perbankan, likuiditas dan kondisi permodalan berada jauh di atas threshold.
Pada Juni 2021, CAR perbankan terjaga di level cukup tinggi (24,33 persen), dan stabil pada kisaran 20 persen selama 2 tahun terakhir. Pertumbuhan DPK perbankan cukup signifikan (mencapai 11,28 persen yoy) dibandingkan kredit, sehingga mendorong likuiditas perbankan semakin ample. Per 4 Agustus 2021, rasio AL/DPK pada level 34,40 persen (threshold 10 persen) dan AL/NCD pada level 157,96 persen (threshold 50 persen)
Kredit perbankan meningkat tumbuh positif 0,59 persen (yoy) atau 1,83 persen (ytd -- year to date), meneruskan tren perbaikan dalam triwulan terakhir. NPL atau kredit bermasalah sebesar 3,24 persen, masih di bawah threshold 5 persen.
Bagaimana dengan kinerja pasar modal?
Untuk pasar modal, IHSG relatif stabil didukung antusiasme dan optimisme pemanfaatan pasar modal untuk pembiayaan ekonomi serta minat beli nonresiden. Pasar SBN menguat seiring dengan meredanya laju kenaikan yield US Treasury akibat langkah Federal Reserve yang masih cukup akomodatif.
IHSG posisi 6 Agustus 2021 menguat ke level 6.203,43 (tumbuh 3,75 persen ytd) dengan aliran dana nonresiden tercatat masuk sebesar Rp18,91 triliun (ytd). Penghimpunan dana melalui pasar modal hingga 3 Agustus 2021 mencapai Rp117,94 triliun atau meningkat sebesar 99,36 persen yoy dari 27 emiten baru yang melakukan penawaran umum.
Capaian ini hampir melampaui perolehan tahun 2020 yang sebesar Rp118,7 triliun. Ke depannya, diharapkan dapat kembali mencapai level sebelum pandemi di akhir tahun 2021.
Terdapat 83 penawaran umum yang masih dalam proses (pipeline) senilai total Rp52,56 triliun dengan 40 penawaran umum diantaranya akan dilakukan melalui mekanisme IPO.
Pada sektor perbankan, bagaimana evaluasi OJK terhadap tren restrukturisasi yang berlangsung selama pandemi ini?
Restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 sampai dengan saat ini sejalan dengan perkembangan pemulihan ekonomi Indonesia. Per Juni 2021, kredit restru Covid sebesar Rp 791,9T, menurun 4,56 persen (ytd) dibandingkan per Desember 2020 (Rp829,7 T).
Sejauh mana OJK memandang insentif berupa restrukturisasi kredit bagi debitur yang bisnisnya terdampak pandemi diperlukan oleh perbankan?
Kebijakan restrukturisasi kredit direspons cukup baik oleh sektor riil maupun perbankan karena memberikan kesempatan atau ruang kepada debitur maupun perbankan untuk mengatur kondisi keuangan setelah terkena dampak pandemi.
Perbankan melaksanakan restrukturisasi kredit dalam koridor POJK Nomor 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Pembatasan mobilitas masyarakat akibat meningkatnya angka yang terpapar Covid-19 (rata-rata harian si atas 20 ribu kasus) sekarang ini bisa menyebabkan upaya pemulihan ekonomi yang dijalankan pemerintah terhambat, sehingga terdapat potensi untuk melakukan perpanjangan lanjutan restrukturisasi kredit di sektor perbankan maupun IKNB.
Langkah perpanjangan restrukturisasi ditempuh untuk memenuhi kepentingan semua pihak, yaitu pemerintah, otoritas, perbankan, dunia usaha dan masyarakat luas yang sedang secara bersama-sama bekerja keras mendorong pemulihan ekonomi nasional.
OJK juga mengingatkan perbankan untuk tetap senantiasa memelihara rasio Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang memadai sebagai antisipasi menuju ke fase normalisasi.
Mengacu evaluasi hingga semester I-2021 dan kondisi ekonomi dalam negeri, bagaimana proyeksi OJK terhadap prospek daya tahan dari industri keuangan nonbank?
IKNB masih dalam kondisi baik dengan tingkat risiko yang terjaga.
Untuk perusahaan embiayaan, pertumbuhan piutang pembiayaan masih terkontraksi sebesar -11,1 persen yoy dengan rasio NPF perusahaan pembiayaan membaik ke level 3,96 persen. Gearing ratio perusahaan pembiayaan tercatat di level 2,03 kali, jauh di bawah maksimum (10 kali).
Untu asuransi, premi asuransi telah dalam zona pertumbuhan, yaitu asuransi jiwa tumbuh 18,4 persen yoy, namun untuk asuransi umum/reasuransi masih terkontraksi -0,5 persen yoy.
Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa (647,7 persen) dan asuransi umum (314,84 persen), jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen.
OJK juga telah melaksanakan secara bertahap proses penguatan dan reformasi IKNB, sehingga ke depannya diharapkan kinerja IKNB akan meningkat, khususnya dari sisi daya tahan, daya saing, tata kelola, keragaman produk, kualitas layanan dan dukungan teknologi.