EKBIS.CO, JAKARTA -- Tingginya harga jagung beberapa waktu terakhir membuat para peternak menjerit karena berdampak pada kenaikan biaya pakan. Di satu sisi, harga ayam hidup maupun telur ayam ras tengah turun sehingga menyebabkan peternak dalam situasi terjepit.
Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qolbi menjelaskan, memang terdapat disparitas harga jagung di pasar dari acuan yang ditetapkan pemerintah. Sekalipun, ketersediaan dalam negeri cukup. Diketahui, harga acuan jagung sebesar Rp 4.500 per kilogram namun harga riil saat ini mencapai hingga Rp 6.000 per kilogram.
"Permasalahan utama adalah bagaimana agar persoalan antara pengusaha pakan baik besar maupun kecil bisa disinkronkan terhadap peternak-peternak rumahan yang memang dalam hal ini sangat dirugikan," kata Harvick dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV, Senin (20/9).
Harvick menyatakan, stok jagung dalam negeri pada dasarnya cukup termasuk untuk kebutuhan pakan ternak unggas. Namun, saat ini tengah terjadi persoalan distribusi yang tidak merata sehingga menyebabkan kenaikan harga di beberapa daerah dan memberikan dampak besar bagi peternak.
Dirinya juga menegaskan, pasokan jagung sangat mencukupi bahkan hingga akhir tahun, namun memang perlu upaya untuk bisa membuat harga di lapangan menjadi lebih stabil dan kondusif. Menurutnya, hal ini perlu peran dari semua pihak, terutama pengusaha pakan.
"Stok buffer kami cukup, bahkan lebih untuk tahun ini. Cuma memang bagaimana membuat situasi ini stabil dan kondusif. Ini kami perlu dukungan sama-sama dari Komisi IV untuk mengingatkan pengusaha pakan kita," kata Harvick.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi menambahkan, saat ini stok jagung dalam kondisi aman. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, hingga akhir pekan kedua September 2021, persediaan jagung terdapat 2,3 juta ton.
Itu tersebar di Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) sebanyak 722 ribu ton, di pengepul 744 ribu ton, di agen 423 ribu ton, serta sisanya 411 ribu ton ada di usaha lain, eceran, dan di rumah tangga.
Suwandi pun mengakui musim panen jagung di Indonesia tidak merata karena tergantung musim. Hal itu yang membuat adanya disparitas ketersediaan pasokan antar daerah.