EKBIS.CO, JAKARTA -- Laporan Global Economic Forecast Report dari ICAEW dan Oxford Economics memperkirakan ekonomi global akan tumbuh sekitar 5,8 persen pada tahun 2021 dan 4,7 persen pada tahun 2022. ICAEW Chief Executive, Michael Izza menekankan akan setiap negara fokus pada peluang untuk menjadi lebih sustainable secara ekonomi setelah mereka terbebas dari pandemi.
Mayoritas negara di seluruh dunia mengalami awal yang lemah untuk tahun ini dengan meningkatnya infeksi dan pembatasan yang lebih ketat. Ini menghambat kegiatan di kuartal I 2021 dan meningkat di kuartal II, seiring dengan berjalannya program vaksinasi.
PDB global tercatat tumbuh sebesar 1,4 persen pada kuartal II 2021, melebihi tingkat pertumbuhan yang terlihat dalam 15 tahun sebelum pandemi Covid-19. Termasuk laju pemulihan yang terlihat setelah Krisis Keuangan Global tahun 2008.
Namun, ada tanda-tanda bahwa momentum ini dapat goyah karena pembatasan yang lebih ketat dan kekhawatiran tentang varian Delta. Gangguan rantai pasokan yang mempengaruhi sektor-sektor utama seperti manufaktur juga menjadi tantangan.
"Para pemimpin dan pakar industri dapat membahas prospek ekonomi dengan fokus pada dampak varian Delta dan bagaimana negara dapat menciptakan pertumbuhan melalui ekonomi yang lebih hijau," katanya.
Era pasca Covid-19 akan diproyeksi akan didominasi oleh perubahan iklim dan pemulihan dari pandemi. Ini memberikan peluang bagi pebisnis untuk membangun kembali bisnis mereka dengan cara yang lebih kuat dan berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik.
Beberapa temuan lain dalam laporan Global Economic Forecast Report meliputi Perpindahan dalam pasokan global akan mengganggu sektor manufaktur di tingkat regional. Di tingkat global, berbagai tingkat pembatasan mobilitas dan keberhasilan pelonggaran pembatasan di berbagai negara telah berkontribusi pada pola return-to-work yang tidak merata dan berdampak negatif pada rantai pasokan global.
Perusahaan di seluruh dunia telah melaporkan bahwa mereka memiliki jumlah unit persediaan produk yang jauh lebih sedikit daripada yang biasanya mereka harapkan. Kendala pasokan ini akan tetap menjadi masalah dalam jangka pendek, dan produksi yang lambat akan menyebabkan peningkatan biaya dan tekanan inflasi yang akan memiliki ripple-effect pada pemulihan ekonomi di Asia Tenggara.
Inovasi teknologi dan investasi publik sangat penting bagi ekonomi hijau. Biaya ekonomi dari lambatnya tindakan yang dilakukan terkait perubahan iklim sangatlah signifikan. Untuk ekonomi Asia Tenggara yang lebih bergantung pada industri pertanian dan peternakan, kemajuan yang lebih lambat dalam memperkenalkan dan adopsi energi terbarukan dapat menjadi tantangan nyata bagi pertumbuhan PDB mereka dalam jangka panjang.
Di sisi lain, ada banyak peluang untuk menjadi penggerak awal teknologi hijau. China dan kawasan Asia Tenggara dapat menjadi penggerak utama untuk mulai memetakan pemulihan ekonomi hijau dan sebagai pemimpin dalam Penelitian dan Pengembangan dan inovasi teknologi.
Ditambah dengan tingkat utang yang rendah, hal ini dapat memberikan peluang untuk membangun kembali industri dan bisnis yang lebih hijau. Negara-negara ini perlu berinvestasi dalam transisi energi bersih dan memanfaatkan kemitraan publik dan swasta untuk menciptakan perubahan.
"Mereka dapat melakukan ini dengan menetapkan tujuan kebijakan yang jelas dan memberikan panduan kepada bisnis untuk mengintegrasikan strategi berkelanjutan dalam organisasi mereka dan membandingkan kemajuan mereka dengan sistem pelaporan yang sama," katanya.