EKBIS.CO, BOGOR -- Prof Arif Satria, rektor IPB University memberikan perspektif umum terkait relevansi bidang pertanian agromaritim di era ekonomi new normal. Hal ini ia paparkan dalam Pelantikan Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) periode 2020-2025 sekaligus Webinar Desain Besar Kedaulatan Pangan Indonesia secara daring, Selasa (12/10).
Menurutnya, penerapan agromaritim akan sangat krusial dalam menghadapi tiga mega disrupsi. Yakni perubahan iklim, revolusi industri 4.0 dan pandemi Covid-19, yang ketiganya memiliki dampak masing-masing. Ketiga disrupsi tersebut, lanjutnya, masing-masing memiliki model ekonomi. Perubahan iklim mendorong adanya ekonomi biru dan hijau, revolusi industri 4.0 mendorong adanya ekonomi digital. Dan pandemi mendorong adanya ekonomi normal baru (new normal economy).
“Masalahnya adalah pandemi hadir pada saat perubahan iklim dan revolusi industri 4.0 itu terjadi. Sehingga new normal economy ini adalah (bentuk) hybrid dari ketiga disrupsi tadi,” jelasnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ciri new normal economy, menurutnya, adalah menerapkan konsep agromaritim sebagai fokus pembangunan berkelanjutan. Argumentasinya adalah karena Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Tuntutan kemandirian pangan juga luar biasa untuk memenuhi stok kebutuhan pangan. Agromaritim ini dinilai dapat menjadi leading sector ekonomi Indonesia.
Menurutnya, selain sektor pertanian, kemaritiman juga perlu disentuh karena tren dunia semakin mengarah kepada penguatan ekonomi biru. Mengingat blue carbon merupakan salah satu komponen penting untuk mengatasi perubahan iklim. Dengan ekonomi biru, berbagai potensi kekayaan alam dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ia menambahkan, ciri lainnya yakni sistem pangan berbasis komunitas yang kian berkembang sebagai solusi krisis pangan. Di samping itu, desa turut menjadi pusat pertumbuhan baru.
Diketahui bahwa 93,9 persennya, sebagian besar pertumbuhan ekonomi berasal dari dana desa. "Tantangan kita saat ini adalah bagaimana mendorong agar 6,1 persen ini bisa dikembangkan lebih besar agar bisa menopang (ekonomi). Jadi dana yang berputar di desa bukan semata-mata transfer dari pusat, tapi dari bagaimana peningkatan produktivitas masyarakat desa dari aktivitas ekonomi,” tambahnya.
Ciri yang tidak kalah penting, katanya, yakni gift economy yang dinilai penting untuk ketangguhan ekonomi. Di mana nilai gotong royong dan resiprokal berbasis pada social capital menjadi penyelamat di masa pandemi. Begitu juga dengan penerapan ekonomi hijau yang berbasis pada keberlanjutan.
Menurutnya, inovasi sebagai penggerak technopreneurship menjadi solusi yang paling tepat. Berdasarkan Global Innovation Index, terdapat korelasi positif antara Gross Domestic Product (GDP) per kapita dengan inovasi yang dihasilkan negara-negara maju.
“Global Talent Competitive Index juga menunjukkan korelasi yang sama. Sehingga kedua indeks perlu dicermati dan dinaikkan agar GDP per kapita Indonesia turut meningkat,” imbuhnya.
Menurutnya, diperlukan inovasi dengan beberapa karakteristik utama agar dapat menjadi penyelamat ekonomi Indonesia. Karakteristik tersebut yakni berbasis pada teknologi 4.0 dan berorientasi pada future practice. Inovasi yang dikembangkan juga harus ramah lingkungan dan memberikan solusi, dapat memperkuat kedaulatan bioekonomi, dan bersifat inklusif.
“Sehingga perlu proses percepatan transformasi ekonomi agar Indonesia tidak lagi menjadi pengikut tren negara lain,” ujarnya.
Ia menyampaikan, solusi jangka pendek ditujukan bagi perlindungan petani. Seperti, isu terkait logistik sangat penting untuk diselesaikan. Dengan menggunakan metode block chain dan teknologi 4.0, hulu dan hilir bisa saling mengontrol. Memperluas akses petani, peternak, dan nelayan melalui pemasaran daring juga perlu dilakukan.
Sedangkan solusi jangka menengahnya, imbuhnya, ditujukan bagi kemandirian pangan. Upayanya dapat dimulai dari sistem pangan berbasis komunitas hingga inovasi pertanian 4.0. Dengan adanya mega disrupsi, semua negara berada pada posisi awal yang sama dalam tranformasi menuju 4.0. Sehingga percepatan transformasi menuju pertanian 4.0 menjadi suatu keniscayaan.
“Semoga dengan adanya PISPI ini semakin sadar bahwa kecepatan berlari ini harus kita tingkatkan. Agar kita menjadi leader dalam proses perubahan di dunia ini,” tutupnya.