EKBIS.CO, JAKARTA--Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus meningkatkan program hilirisasi berbasis sumber daya alam, termasuk di sektor agro, agar dapat terus memacu nilai tambah ekonomi dari bahan baku lokal tersebut. Salah satu sektor yang dikembangkan yakni industri pengolahan minyak kelapa sawit.
Melalui kebijakan hilirisasi, pemerintah menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat produsen produk turunan minyak sawit di dunia pada 2045. Hal itu juga akan membuat Indonesia menjadi penentu harga Crude Palm Oil (CPO) global.
Selama ini, Indonesia sudah menguasai pasar ekspor CPO di kancah global sebesar 55 persen. Lalu kenaikan harga komoditas CPO, diharapkan bisa menjadi peluang guna pengembangan industri hilirnya. Hal ini akan berdampak positif pada multiplier effect yang luas bagi perekonomian nasional. Khususnya penerimaan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan, Indonesia harus bisa menghentikan ekspor minyak sawit mentah atau CPO agar komoditas tersebut dapat diolah menjadi produk turunan yang bernilai tambah tinggi. “Di suatu titik nanti, setop yang namanya ekspor CPO. Harus jadi kosmetik, harus jadi mentega, harus jadi biodiesel, dan turunan lainnya,” ujar Kepala Negara.
Presiden mengatakan, Indonesia harus memiliki keberanian menghentikan ekspor bahan mentah, meskipun terdapat potensi gugatan hingga ke Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). “Indonesia harus bersiap menghadapi segala hambatan dalam proses hilirisasi sumber daya alam,” tegasnya.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, upaya pendalaman struktur industri manufaktur di Indonesia, juga perlu didorong melalui kebijakan hilirisasi berbasis sektor primer. “Selama ini, hilirisasi dapat bermanfaat dalam meningkatkan nilai tambah terhadap perekonomian nasional, di antaranya peningkatan pada investasi, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan industri manufaktur di dalam negeri,” tuturnya, melalui keterangan resmi pada Rabu (20/10).
Menurut Agus, dengan ketersediaan sumber daya alam yang berlimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara eksportir berbagai produk berbasis agro, mineral, migas, dan batubara. “Di sektor industri agro misalnya, Indonesia berhasil melakukan hilirisasi minyak sawit mentah (CPO),” ujar dia.
Dalam kurun 10 tahun, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat signifikan, dari 20 persen pada 2010 menjadi 80 persen pada 2020. Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 13 Tahun 2010.
Bahkan, saat ini terdapat 168 jenis produk hilir CPO yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel FAME. Sementara pada 2011, hanya ada 54 jenis produk hilir CPO.
Plt Direktur Jenderal Industri Agro Putu Juli Ardika menyebutkan, program yang telah dijalankan oleh Kemenperin terkait hilirisasi berbasis minyak sawit (CPO/CPKO), antara lain mempertahankan kebijakan tarif pungutan ekspor secara progresif berdasarkan harga CPO internasional dan rantai nilai industri. “Sebab, tarif pungutan ekspor untuk bahan baku CPO/CPKO jauh lebih tinggi daripada produk intermediate dan produk hilir. Upaya ini sebagai insentif bagi industri pengolahan dalam negeri,” jelasnya.
Menurut Putu, insentif tarif pungutan ekspor telah mendorong investasi di sektor industri hilir pengolahan minyak sawit di dalam negeri. Adapun tarif pungutan ekspor progresif terdiri dari Tarif Pungutan Dana Perkebunan/Levy dan Tarif Bea Keluar yang ditetapkan dinamis sesuai harga referensi bulanan.
“Dengan kebijakan tarif Levy ditambah tarif Bea Keluar yang progresif, beberapa perusahaan perkebunan yang sebelumnya hanya memiliki kebun, saat ini telah dan sedang membangun industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri,” ungkap dia. Langkah lainnya, Kemenperin juga menyiapkan kawasan industri sebagai lokus investasi baru/perluasan industri hilir kelapa sawit, mengusulkan pemberian harga khusus gas bumi untuk industri oleokimia, dan memasilitasi promosi investasi industri hilir sawit di berbagai event international seperti tahun ini di Hannover Messe, Jerman dan Dubai Expo.
Putu menambahkan, sampai saat ini, hanya produk ekspor biodiesel dari minyak sawit yang masih menghadapi hambatan trade remedies, khususnya dari Uni Eropa. Sejak 2016, Kemenperin telah aktif dalam Working Group untuk menyiapkan data industri sebagai bahan Litigasi Sidang WTO.
Pada 2017, Kemenperin juga mengirimkan delegasi guna mengikuti Sidang DSB terkait antidumping biodiesel dari minyak sawit di Kantor Pusat WTO, Jenewa. “Hal tersebut menunjukkan, Kemenperin sangat berkepentingan menyelesaikan isu trade remedies dalam rangka mengamankan kinerja industri dan ekspor produk biodiesel dari minyak sawit dalam negeri,” katanya.