EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyarankan pemerintah memproduksi listrik dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan harga lebih murah dari batu bara. Berdasarkan survei YLKI, 79,31 persen masyarakat enggan beralih kepada listrik berbahan EBT yang berharga mahal.
"Kesediaan masyarakat itu akan menurun ketika harganya mahal, dimana yang mau pindah hanya 20 persen, yang tidak mau berpindah itu 80 persen. Jadi faktor harga menjadi penting ketika masyarakat dihadapkan pada pilihan energi EBT dengan fosil," kata Tulus dalam sebuah webinar yang dipantau di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan jika tidak dihadapkan pada perbandingan harga antara listrik EBT dengan fosil, sebanyak 72,41 persen masyarakat mengatakan ingin beralih dari energi berbahan fosil kepada EBT. Mereka beranggapan, energi fosil berdampak sangat buruk terhadap lingkungan secara jangka menengah hingga panjang.
Apalagi, kata Tulus, persoalan listrik masih menjadi satu dari lima pengaduan masyarakat yang paling banyak diterima YLKI, antara lain terkait dengan harga listrik."Sejak pandemi di awal 2020 ada tagihan melonjak, melambung karena pemakaian cukup tinggi dan mereka tidak sadar harganya melambung," ucapnya.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan persoalan harga sebelum mengganti listrik berbasis fosil kepada EBT secara penuh. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, produk listrik yang disalurkan kepada masyarakat harus memenuhi aspek kualitas, keterjangkauan, dan aksesibilitas.
Aspek keterjangkauan mengacu pada harga yang terjangkau oleh semua kelompok masyarakat, khususnya masyarakat rentan. Hal ini diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU tentang Energi."Aspek aksesibilitas, aspek keterjangkauan, dan aspek kualitas, ketiganya harus hadir dan juga aspek pemerataan. Mendapatkan produk energi adalah hak asasi masyarakat yang wajib disediakan oleh negara," pungkas Tulus.