EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan, ada tiga realitas yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Ketiganya saat ini tengah mendapat tekanan.
"Ini saya tidak menakut-nakuti, tapi realitas yang harus dihadapi bersama," ujar Erick dalam Orasi Ilmiah di Universitas Brawijaya, Malang, yang disiarkan secara virtual, Sabtu (27/11).
Realitas pertama, kata dia, pasar globalisasi akan terus dipaksakan dibuka. Kedua, transformasi atau distribusi digital yang tidak bisa terbendung. Ketiga, ketahanan kesehatan.
Bicara soal pasar global, kata dia, Kalau dilihat pada konferensi G20 di Roma dan COP26 di Glasgow, banyak negara maju menekankan pentingnya menuju ekonomi hijau atau green economy. Indonesia pun menyetujui gagasan tersebut.
"Itu karena, bicara lingkungan hidup adalah masa depan generasi yang harus kita jaga. Indonesia kita punya komitmen sama lakukan transformasi itu, tapi kalau green economy ini disusupi hanya kepentingan supaya kita nggak jadi negara maju, maka harus kita tolak," tegas Erick.
Ia mengungkapkan, saat di pertemuan negara G20, Presiden Joko Widodo tidak mau menandatangani perjanjian mengenai rantao pasok atau supply chain. "Kenapa? Karena salah satu (isinya) kita ditekan hanya membuka industri pertambangan dikirim sebanyak-banyaknya ke negara lain. Apa bedanya wama jaman VOC dulu ke sini cari pala dan rempah? Kita tidak mau Sumber Daya Alam (SDA) kita dipakai untuk pertumbuhan bangsa lain," tutur dia.
Meski begitu, lanjutnya, pemerintah tidak anti asing. "Hanya saja sudah sewajarnya, SDA kita harus dipakai untuk ekonomi kita yang sebesar-besarnya, market kita harus dipakai untuk pertumbuhan ekonomi bangsa kita sebesar-besarnya," tegas Erick.
Maka, kata dia, sudah waktunya Indonesia menjadi sentra pertumbuhan ekonomi dunia. Ekonomi dunia pun menjadi bagian dari pertumbuhan Indonesia.
Berikutnya, bicara soal distribusi digital, Erick menyebutkan, dulu 10 perusahaan besar di dunia berdasarkan SDA dan ritel. Sementara nantinya, tujuh dari perusahaan merupakan perusahaan teknologi.
"Ini hal yang nggak bisa terelakkan dan jadi kenyataan bahwa disrupsi digital pasti ganggu juga di banyak hal. Kita bisa melihar bagaimana sekarang babal belurnya gelombang ekonomi digital dengan masuknya e-commerce," tutur dia.
Masuknya e-commerce, sambung Erick, memang membuat tren belanja online naik. Hanya saja bukan barang lokal yang dibeli.
"Kita sempat terkena dumping, UMKM membuat Rp 200 ribu, tapi dijual Rp 20 ribu saja. Ini merusak pondasi supply chain UMKM kita yang juga jadi tulang punggung perekonomian," jelasnya.
Sekarang, lanjut dia, gelombang digital berikutnya masuk. Tak lagi e-commerce, tapi muncul healthtech, edutech, fintech, dan lainnya.
"Ini lebih bahaya dari e-commerce, karena healthtech edutech dan fintech berkaitan dengan kehidupan keseharian. Nggak mungkin masyarakat nggak concern ke kesehatan, pendidikan, dan sistem pembayaran. Ini akan mendisrupsi lapangan pekerjaan dengan adanya robotic dan Artificial Inteligence (AI)," ujar dia. Selain itu, tuturnya, jumlah startup di Tanah Air juga masih jauh jikan dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) serta China yang memiliki ratusan.
Lalu bicara mengenai ketahanan kesehatan, menurutnya situasi kesehatan tidak menentu. Kalau angka Covid-19 naik, ekonomi turun.
"Ini musuh tidak terlihat dan hampir (terjadi) 20 tahun sekali. Sebelumnya ada virus ebola, flu burung dan lainnya, nggak tahu 20 tahun lagu apa. Kondisinya, mayoritas farmasi kita impor bahan baku pembuatan obat. Jadi obat mahal," ujar Erick.
Guna mengatasi tiga ancaman di atas, kata dia, diharapkan semua pihak seperti BUMN, universitas, dan rakyat, secara gotong royong bekerja sama. "Bersama-sama satu lainnya berjalan ke pondasi luar sesuai roadmap," kata dia.