EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengembangan industri perbankan syariah pada tahun depan disebut masih memghadapi sejumlah tantangan. Hal tersebut tergambar dari sisi daya saing hingga permasalahan literasi dan inklusi bank syariah.
Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya I mengatakan dari sisi jumlah, keberadaan bank syariah di tengah masyarakat masih jauh tertinggal dari bank konvensional. Berdasarkan kategorinya, bahkan belum ada bank syariah yang termasuk dalam BUKU IV.
Tantangan lainnya yakni jangkauan jaringan bank syariah masih rendah. Pada 2020, share outlet bank syariah terhadap bank umum baru mencapai 7,7 persen. "Artinya dari 1 juta penduduk hanya dilayani oleh 9 cabang dibandingkan 114 cabang oleh bank umum," kata Banjaran dalam acara Sharia Economic Outlook 2022, Rabu (15/12).
Tidak hanya itu, tingkat literasi dan inklusi terhadap bank syariah juga masih rendah. Berdasarkan data BSI, literasi bank syariah hanya sebesar 8,9 persen dibandingkan bank konvensional yang sebesar 37,7 persen. Sedangkan tingkat inklusi bank syariah 9,1 persen dibanding bank konvensional yang sebesar 75,3 persen.
Meski demikian, menurut Banjaran, masih banyak potensi yang bisa digali di industri perbankan syariah. Banjaran melihat terdapat preferensi masyarakat yang kuat untuk perbankan syariah sehingga pertumbuhan bank syariah melampaui perbankan konvensional dengan potensi pasar yang sangat besar.
Kondisi ini tercermin dari CAGR 5 tahun industri perbankan syariah di Indonesia yang mencapai 13,8 persen, sedangkan bank konvensional hanya 7,8 persen. Potensi besar pertumbuhan industri perbankan syariah juga didukung oleh Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.
Bank syariah juga bisa fokus dengan sektor industri halal. Potensi nilai industri halal diperkirakan akan terus bertumbuh pada 2022 seiring dengan ekspektasi pemulihan situasi pandemi. "Industri perbankan syariah sangat terbuka dengan peluang dan potensi di industri halal," ujar Banjaran.
Adapun potensi industri halal Indonesia mencapai sekitar Rp4.375 triliun dengan potensi makanan dan minuman halal sebesar Rp2.088 triliun, pariwisata ramah Muslim Rp162 triliun, fesyen Muslim Rp232 triliun, farmasi halal Rp78,3 triliun, kosmetik halal Rp58 triliun, media dan rekreasi halal Rp319 triliun dan aset keuangan syariah Rp1.438 triliun.
Secara umum, Banjaran menjelaskan, prospek pertumbuhan industri perbankan syariah pada 2022 diperkirakan akan melanjutkan pertumbuhan positif baik di sisi penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun penyaluran pembiayaan. BSI memperoyeksi pada tahun 2022 himpunan DPK akan tumbuh 11,53 persen.
Pertumbuhan ini antara lain didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terkait gaya hidup halal. Selain itu, pengembangan digital banking memudahkan masyarakat untuk membuka rekening dan melakukan transaksi. Sinergi dengan stakeholder ekonomi syariah dari berbagai segmen turut mendorong pertumbuhan DPK industri perbankan syariah.
BSI juga memproyeksi penyaluran pembiayaan di industri perbankan syariah akan tumbuh signfikan sebesar 7,25 persen pada tahun depan. Faktor penggeraknya yaitu pemulihan permintaan di sektor ritel serta pemulihan di sektor industri manufaktur.
Pertumbuhan penyaluran pembiayaan juga didukung oleh fokus pemerintah terhadap 7 sektor prioritas yakni kesehatan, sosial, energi, pendidikan, infrastruktur, teknologi informasi dan pangan. Selain itu, pertumbuhan industri halal terutama halal food dan halal cosmetics turut berkontribusi terhadap pertumbuhan penyaluran pembiayaan.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal meyakini pengembangan ekonomi syariah seharusnya bisa berperan lebih besar dalam pemulihan ekonomi yang lebih kuat. Prinsip-prinsip di dalam ekeonomi syariah ini semestinya bisa menjadi solusi yg menjawab permasalahan ke depan.
"Salah satunya membangun tatanan ekonomi yang lebih berkeadilan termasuk dalam hal pengentasan kemiskinan," tutur Faisal.