EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengungkapkan, kebutuhan dana penanganan iklim mencapai Rp 745 triliun per tahun hingga 2030. Selain Indonesia, beberapa negara juga telah menyediakan anggaran cukup besar pada 2022 guna mendukung pengembangan ekonomi hijau di antaranya Jepang sebesar 40 miliar dolar AS dan Amerika Serikat 36 miliar dolar AS.
Mengingat besarnya kebutuhan pendanaan itu, kata dia, tidak cukup hanya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Dibutuhkan sinergi antara swasta dan pemerintah serta bantuan organisasi internasional untuk dapat secara optimal menyokong kebutuhan pembiayaan yang sangat besar tersebut," ujar Wimboh dalam webinar, Selasa (28/12).
Ia menambahkan, program pengembangan ekonomi hijau juga akan menjadi agenda penting dalam Presidensi G20 di Indonesia pada tahun 2022. Maka, perlu adanya keterlibatan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah pusat, Kementerian Keuangan, BI-OJK, pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat.
Wimboh melanjutkan, OJk sebagai otoritas di sektor keuangan memiliki andil yang besar dalam menyusun kebijakan keuangan berkelanjutan di sektor keuangan dalam mendukung implementasi ekonomi hijau. Kebijakan itu dimulai dengan penerbitan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I pada 2015 sampai 2020.
"Pada Roadmap Tahap I, melalui POJK Nomor 51 Tahun 2017, OJK mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB). Selain itu, terdapat kewajiban bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik untuk menyampaikan Laporan Keberlanjutan," jelas dia.
Hasilnya, Indonesia memperoleh peringkat satu. Hal itu berdasarkan survei tentang tingkat kepercayaan terhadap perusahaan yang menyampaikan laporan kinerja berkelanjutan dari Globescan and Global Reporting Initiative di 2020.
Selanjutnya, Wimboh mengatakan, OJK menyusun Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II untuk 2021 sampai 2025. Isi roadmap itu menyempurnakan beberapa hal yang belum ada pada roadmap pertama seperti belum tersedianya taksonomi hijau, belum terintegrasinya risiko keuangan perubahan iklim ke dalam kerangka mitigasi risiko, serta belum tersedianya insentif untuk pernerbitan instrumen keuangan berkelanjutan.