EKBIS.CO, JAKARTA -- Transisi energi hijau berlanjutan menjadi salah satu topik dalam KTT G20 2022. Dengan tema Recover Together, Recover Stronger, posisi Indonesia sebagai Presidensi dalam G20 tahun 2022 ini menjadi penting untuk bersama-sama mendorong transisi energi hijau yang berkelanjutan.
Wakil Menteri BUMN I Pahala Nugraha Mansury mengatakan G20 2022 menjadi momen penting untuk mendorong kebijakan transisi energi hijau yang berkelanjutan, efisien, mudah, terjangkau dan konkret.
“Transisi energi yang berkelanjutan tak terelakkan. Hampir semua negara sudah memulai transisi energi hijau dengan bertahap mengurangi energi fosil,” ujarnya saat webinar, Jumat (14/1/2022).
Perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu global 1,5 derajat celcius sampai dua derajat celcius membuat dunia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon. Maka itu, menurut Pahala, langkah transisi energi harus dilakukan konkret, bukan lagi retorika, seperti yang diamanatkan Presiden Joko Widodo. Indonesia akan menyusun roadmap pengembangan energi baru terbarukan secara konkret, beserta skema pembiayaan.
Adapun beberapa langkah konkret yang dilakukan, yakni dengan mendorong terciptanya sistem perpajakan nasional terhadap karbon. Indonesia, mulai 1 April 2022 akan mulai mengenakan pajak karbon, sesuai amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pemerintah juga mendorong berbagai proyek pembangunan yang sustainable dan hijau. Kementerian BUMN mendukung Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang lebih hijau. “Dalam RUPTL 2021-2030, porsi listrik dengan energi terbarukan (EBT) sebesar 51,57 persen atau setara 20.923 MW,” tandas Pahala.
Pemerintah Indonesia memiliki peta jalan transisi energi untuk Indonesia yang tertuang dalam Grand Strategi Energi Nasional. Dalam peta jalan itu, energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan 23 persen pada 2025 dan mencapai 31 persen pada 2050 dalam bauran energi.
“Untuk menghadirkan energi bersih dalam rangka terciptanya kemandirian energi nasional, dibutuhkan sumber energi lokal terutama energi baru terbarukan seperti geothermal, sehingga dapat meningkatkan kualitas udara dan mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca nasional,” ucapnya.
Menurutnya pemerintah berfokus pada pengembangan panas bumi sebagai porsi terbesar dalam EBT. “Kita akan kembangkan geothermal, karena yang menguntungkan di geothermal. Target penurunan emisi dari perusahaan BUMN 85 juta ton CO2,’’tuturnya.
Geothermal atau panas bumi, lanjut Pahala, merupakan energi andalan Indonesia karena bisa dijadikan baseload. Biaya penyediaan energinya pun lebih murah dibandingkan EBT yang lain, yakni hanya USD7,6-8 sen per kWh. "Bandingkan dengan baterai dari energi surya yang 12 sen dolar AS per kWh, jelas geothermal lebih murah, sehingga pemerintah menilai, geothermal punya potensi unik untuk dikembangkan," imbuhnya.
Peningkatan penggunaan geothermal itu juga untuk menekan impor BBM nasional. Sebab, saat ini, konsumsi BBM Indonesia sekitar 1,2 juta barel per hari. Kebutuhan BBM tersebut sebanyak 40 persen dipasok dari impor.
Pahala menyebut pihaknya mendorong BUMN untuk mengoptimalkan pengembangan geothermal di wilayah kerjanya sendiri. Apalagi, saat ini baru sembilan persen wilayah kerja geothermal yang berproduksi dengan kapasitas hanya 1.900 MW. "Kita masih punya potensi 19 GW, kita dorong bagaimana agar Pertamina Geothermal Energy mengembangkan area geothermal," tukasnya.
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) mengelola 15 wilayah kerja dengan kapasitas 1.877 MW. Dengan rincian 672 MW dioperasikan sendiri dan 1.205 MW merupakan kontrak operasi bersama. Untuk meningkatkan pemanfaatan panas bumi, saat ini PGE sedang mengembangkan teknologi baru dengan menggunakan binary cycle.
Indonesia memiliki kekuatan sangat besar atas renewable energy, bersumber dari energy hydropower, geothermal, bayu, solar panel, biofuel, arus bawah laut, dan yang lainn-lainnya. Dengan aset besar itu, Indonesia saat ini juga tengah mengejar ketersediaan energi baru dan terbarukan, salah satunya lewat panas bumi yang sangat berlimpah di Tanah Air.