EKBIS.CO, JAKARTA -- Sekretaris Umum (Sekum) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli mengatakan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional Januari 2022 sebesar 108,67 atau naik 0,30 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (2/2/2022) menyebutkan kenaikan NTP nasional Januari 2022 diakibatkan kenaikan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) sebesar 0,81 persen lebih tinggi dibandingkan penurunan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,50 persen.
Agus melanjutkan, kendati BPS mencatat tren kenaikan yang positif namun laporan dari anggota SPI di beberapa wilayah menyebutkan tengah terjadi penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di lapangan.
“Di wilayah yang menjadi konsentrasi perkebunan seperti Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, anggota SPI mencatat terjadi penurunan untuk jenis komoditas sawit. Bahkan di Kampar, Riau, pada penghujung Januari lalu harga TBS sempat turun Rp1.000 per kg nya,” katanya.
Agus Ruli menekankan, meskipun harga minyak goreng meroket, petani sawit justru banyak yang tidak menikmatinya. Penyebabnya mulai dari harga sarana produksi seperti pupuk di tingkat kios yang naik dengan harga tak wajar. Hal ini berimbas pada peningkatan biaya produksi petani sawit.
Ia melanjutkan, meskipun Indonesia berstatus sebagai negara produsen sawit terbesar kedua di dunia, namun hubungan dengan pengolahan produk turunan tidak terjalin dengan baik. Pembelian kembali CPO sebagai bahan baku minyak goreng mesti disesuaikan dengan harga yang ditentukan oleh pasar internasional.
Hal tersebut yang memaksa kenaikan minyak goreng tak terelakkan. Situasi tersebut merupakan konsekuensi dari perdagangan bebas yang menerapkan standar harga internasional sebagai hukum ekonomi. yang tak kalah penting untuk diperhatikan yaitu mengenai tata kelola sawit yang dikuasai oleh korporasi.
“Perusahaan besar yang menguasai kebun dan sekaligus memiliki pabrik pengolahan turut memiliki andil terhadap kenaikan harga minyak goreng. Pengawasan pemerintah mesti ditingkatkan, mengingat pada 2009 lalu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum sejumlah produsen minyak goreng untuk membayar denda dengan total nilai sebesar Rp 299 miliar. Sanksi diberikan karena dugaan kartel dalam penentuan harga minyak goreng,” jelasnya.
Pekan lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) udah melakukan pertemuan dengan produsen minyak goreng. Kepala Biro Hubungan dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan terdapat beberapa hal yang didalami dalam pertemuan tersebut.
Terutama faktor pembentuk harga dan validasi berbagai permasalahan yang berkembang saat ini.
Meskipun begitu, Deswin mengungkapkan saat ini KPPU belum bisa membagikan hasil lengkap dari pertemuan tersebut. Hanya saja, Deswin mengatakan masih ada pertemuan selanjutnya dengan produsen minyak goreng lainnya.
"Hari ini dari 3 panggilan. Dua (produsen minyak goreng lainnya) dijadwalkan ulang," ujar Deswin.
Sebelumnya, Ketua KPPU Ukay Karyadi mengungkapkan telah menemukan empat pemain besar yang diduga terlibat kartel. Ukay memaparkan alasan adanya indikasi kartel terkait melonjaknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu, dengan menyebut terdapat sinyal-sinyal praktik kartel. Jadi, lanjut Ukay, ketika ada kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), maka situasi tersebut dijadikan momentum untuk pelaku usaha minyak goreng pada perusahaan besar untuk menaikkan harga.
Menurut Ukay, yang menjadi perhatian KPPU adalah selain pabrik minyak goreng tersebut terintegrasi dengan kebun sawit milik mereka sendiri, perusahaan-perusahaan tersebut juga menaikkan harga jual secara bersamaan. Padahal, lanjut Ukay, jika terjadi kenaikan di produk minyak goreng PT A (misalnya), maka PT B akan mengambil alih pasar PT A dengan tidak ikut menaikkan harga.
Namun yang terjadi justru para pemain besar minyak goreng tersebut menaikkan harga secara kompak. "Nah, ketika kenaikan ini terjadi, pemerintah sampai harus turun tangan mengintervensi harga dengan kebijakan satu harga di level Rp 14 ribu per liter dan terbukti tidak efektif. Sehingga merubah lagi kebijakan dengan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO)," ungkap Ukay.