EKBIS.CO, JAKARTA -- Tensi geopolitik terus mengerek harga minyak dunia. Hal ini kemudian berimbas pada Indonesian Crude Price (ICP) pada Januari kemarin.
Kementerian ESDM mencatat, rerata ICP sepanjang Januari kemarin melesat ke angka 85,89 dolar AS per barel. Angka ini melesat 12,53 dolar AS per barel dari rerata ICP Desember sebesar 73,36 dolar AS per barel.
Kepala Biro Klik Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan kenaikan ICP ini tak lain karena kondisi harga minyak mentah di dunia juga sedang tinggi. Naiknya harga minyak dunia ini didorong situasi perang dingin antara Ukraina dan Rusia.
"Kazakhstan sebagai salah satu negara OPEC+ dengan produksi 1,6 juta barel per hari, mengalami kendala logistik yang berpotensi menyebabkan penurunan produksi pasca demonstrasi yang dipicu kenaikan harga bahan bakar," ujar Agung, Senin (7/2).
Libya saat ini hanya memproduksikan minyak mentah pada kisaran 700 ribu barel per hari dari potensi produksi kurang lebih 1,2 juta barel per hari. Negara tersebut mengalami penurunan produksi minyak terendah dalam 14 bulan terakhir akibat blokade di lapangan minyak utama area barat dan disertai perbaikan pipa yang menghubungkan Lapangan Samrah dan Dahra ke terminal Es Sider (kapasitas 350 ribu barel per hari).
Uni Emirat Arab (UEA), negara produsen minyak OPEC tertinggi ketiga, mengalami serangan drone dan misil yang mematikan dari pemberontak Yemeni Houthi di depot bahan bakar Mussafah, ADNOC dan bandara internasional UEA.
"Faktor lainnya adalah terjadinya ledakan pipa di Turki dengan kapasitas penyaluran sebesar 450 ribu barel per hari minyak dari Utara Irak ke Pelabuhan Ceyhan-Mediteranian sehingga memicu kekhawatiran pasar akan potensi gangguan pasokan minyak," ujar Agung.
Selain itu, terkait permintaan minyak dunia, berdasarkan Laporan IEA (International Energy Agency) bulan Januari 2022, terdapat peningkatan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dunia pada tahun 2021 dan 2022 sebesar 200 ribu barel per hari, menjadi 5,5 juta barel per hari pada 2021 dan 3,3 juta barel per hari pada 2022 yang dipicu oleh relaksasi pembatasan Covid.
“Komite penasehat OPEC+ melaporkan implikasi Omicron akan pertumbuhan permintaan dunia akan terbatas. Lebih lanjut, Sekretaris Jendral OPEC, Haitham Al-Ghais menyampaikan bahwa permintaan minyak dunia akan kembali ke tingkat sebelum pandemik pada akhir tahun 2022,” ujar Agung.