Kamis 17 Feb 2022 13:22 WIB

Mengapa Produk Pertanian Indonesia Masih Sulit Bersaing di Pasar Global? Ini Penyebabnya

Kinerja pertanian nasional cukup stabil sejak 2019 lalu meski diterpa badai pandemi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petani memanen terong (solanu melongena)-ilustrasi. Kinerja pertanian nasional cukup stabil sejak 2019 lalu meski diterpa badai pandemi.
Foto: ANTARA/Destyan Sujarwoko
Petani memanen terong (solanu melongena)-ilustrasi. Kinerja pertanian nasional cukup stabil sejak 2019 lalu meski diterpa badai pandemi.

EKBIS.CO,  JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mencatat sejumlah kendala yang dihadapi petani Indonesia sehingga sulit bersaing di pasar global. Padahal, selama pandemi, sektor pertanian nasional cukup berkontribusi bagi perekonomian masyarakat.

Kepala Penelitian CIPS, Felippa Amanta, menuturkan, kinerja pertanian nasional cukup stabil sejak 2019 lalu meski diterpa badai pandemi. Tahun lalu, ekspor produk pangan dan pertanian bahkan mencatat 42 miliar dolar AS, cukup berkontribusi besar terhadap total ekspor.

Baca Juga

"Namun, kalau dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, atau negara Amerika Latin, Indonesia masih sering kalah saing. Tantangannya banyak," kata Felippa dalam sebuah webinar, Kamis (17/2/2022).

Ia menerangkan, tantangan yang dihadapi petani saat ini adalah ongkos produksi pangan yang masih cukup mahal. Tingginya ongkos produksi juga disebabkan banyak masalah yang sudah mengakar. Salah satunya terkait kepemilikan lahan yang kecil atau sekitar 0,6 hektare (ha) setiap petani.

Terbatasnya kepemilikan lahan itu, menyebabkan keterbatasan aktivitas pertanian para petani. Situasi itu berbanding terbalik jika dibandingkan dengan Australia dan Amerika Serikat yang sudah memiliki pertanian yang maju di mana kepemilikan lahan dalam skala luas.

"Tantangan kedua adalah akses ke input (sarana prasarana) produksi yang masih susah. Ini juga yang membuat ongkos prouduksi pertanian kita lebih mahal dibanding rata-rata internasional," kata dia.

Sebagai contoh, harga jagung Indonesia dari petani bisa lebih tinggi 20 persen dari harga jagung di Vietnam dan Thailan yang turut memproduksi jagung. Perlu ada terobosan agar tingkat harga bisa ditekan tanpa merugikan petani sehingga Indonesia bisa bersaing.

Adapun, tantangan yang ketiga yakni proses pasca panen yang masih terbatas. Felippa mengatakan, industri pasca panen hasil pertanian perlu ditingkatkan lagi agar memberikan nilai tambah sekaligus efisiensi petani dalam usaha tani yang dijalankan.

Sementara itu, Analis Kebijakan Bappenas, Jarot Indarto mengakui, pertanian Indonesia saat ini utamanya juga dihadapkan pada usia para petani yang semakin menua. Hal itu akan menjadi masalah dalam jangka panjang jika tidak segera dilakukan regenerasi.

"Dengan tantangan itu, pertanian kita juga dihadapkan pada kendala untuk bisa mengembangkan kemitraan usaha yang lebih baik. Termasuk, dari segi pendanaan," katanya.

Sebagai gambaran, kredit perbankan untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) masih kurang dari 20 persen dari total penyaluran kredit setiap tahun. Dari persentase itu, porsi kredit UMKM sektor pertanian hanya 12-13 persen adapun mayoritas masih tertuju pada UMKM sektor perdagangan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement