EKBIS.CO, JAKARTA-- Pemerintah mengungkapkan pandemi Covid-19 sempat membuat suhu permukaan bumi menurun. Pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2020 telah mampu menurunkan emisi karbon dunia hingga 6,4 persen atau setara 2,3 miliar ton karbondioksida (C02).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penurunan emisi karbon terjadi karena masyarakat terpaksa menghentikan berbagai aktivitas sosial dan ekonomi, semua orang di dunia terpaksa menjalankan aktivitas di dalam rumah.
“Aktivitas ekonomi seluruh masyarakat di dunia juga mengalami restriksi atau penurunan, maka dampaknya terhadap perubahan iklim cukup baik yaitu turunnya emisi CO2 secara global 6,4 persen pada 2020,” ujarnya saat webinar Green Economy Outlook 2022, Selasa (22/2/2022).
Menurutnya penurunan 6,4 persen emisi karbon setara dengan 2,3 miliar ton CO2 secara global. Penurunan seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya meskipun terdapat berbagai usaha dan perjanjian untuk menekan dampak krisis iklim.
Meskipun begitu, menurut Sri Mulyani kondisi itu bukanlah sesuatu yang diinginkan, karena masyarakat global dihadapkan pada pilihan penyelamatan dunia dari dampak krisis iklim atau penyelamatan kesejahteraan dan perekonomian.
"Yang diinginkan dunia adalah masyarakat tetap bisa melaksanakan kegiatan ekonomi dan terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia tetap bisa melaksanakan program-program pembangunan untuk kesejahteraan masyarakatnya, tetapi bisa upaya penurunan CO2 di dalam rangka menghindari konsekuensi katastropik dari krisis iklim," ucapnya.
Memasuki 2021, lanjut Sri Mulyani, setelah vaksin ditemukan dan setiap negara mulai bisa menangani kasusnya, perekonomian kembali bergerak. Memasuki tren pemulihan ini produksi emisi karbon kembali meningkat. Berdasarkan data UNICEF, saat dunia mengalami pemulihan, emisi karbon meningkat lebih tinggi dari sebelum terjadi pandemi.
"Kita melihat tingkat emisi global terutama dari sektor energi, industri dan residensi kembali melonjak pada level yang lebih tinggi bahkan melebihi situasi sebelum pandemi," ucapnya.
Artinya, lanjut dia, selama proses pemulihan ekonomi menghasilkan konsekuensi kenaikan jumlah emisi karbon. Bahkan pada 2021, emisi karbon yang dihasilkan sudah melebihi saat 2019.
"Pada saat dunia sudah mengalami pemulihan ekonomi, kita melihat tingkat emisi global dari terutama sektor energi, industri, dan residensi kembali melonjak pada level yang bahkan lebih tinggi dari periode sebelum pandemi Covid-19," ucapnya.
Meskipun begitu, United Nations Environment Programme (UNEP) mencatat pada Januari sampai Mei 2021 kembali terjadi kenaikan emisi karbon secara global. Produksi CO2 itu bahkan melampaui kondisi sebelum pandemi Covid-19, sehingga menimbulkan efek buruk bagi iklim.
UNEP mencatat pada tahun lalu terjadi kenaikan suhu permukaan bumi hingga 2,7°C dan negara-negara anggota G20 menyumbang 78 persen dari semua emisi karbon. UNEP pun mendorong agar seluruh dunia, terutama negara-negara maju menekan emisi karbon demi mencegah krisis iklim.
Menurut Sri Mulyani, terdapat konsekuensi dari periode pemulihan ekonomi 2021 terhadap kenaikan emisi karbon. Seluruh dunia berupaya memulihkan kondisi perekonomian setelah terpukul oleh pandemi Covid-19 pada 2020, sehingga produksi karbon melonjak.
Hal tersebut menjadi tantangan besar bagi dunia karena aktivitas ekonomi akan terus berjalan. Maka itu, perlu adanya desain pengembangan ekonomi yang tidak memperburuk kondisi iklim.
"Ini menjadi suatu tantangan bagaimana di dalam kondisi pasca pandemi kita mampu mendesain pemulihan ekonomi yang lebih hijau, emisi karbonnya menjadi lebih rendah," ucapnya.
Pemerintah dari sisi penerimaan negara atau perpajakan telah memberikan insentif bagi dunia usaha berinvestasi perekonomian hijau. Kemudian ada tax holiday, tax allowance dan pembebasan bea masuk impor, pengurangan pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan yang ditanggung pemerintah.
Termasuk juga Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang menjadi instrumen untuk mengenalkan pajak karbon guna mendorong pelaku ekonomi utamanya dari sektor swasta untuk memasukkan atau menginternalisasikan konsekuensi ekonomi dalam bentuk emisi karbon.
“Dengan demikian Indonesia akan mampu terus menjalankan kegiatan ekonominya namun dengan kesadaran makin tinggi dan makin penuh untuk melakukan langkah-langkah nyata untuk mengurangi krisis atau potensi krisis dari perubahan iklim,” ucapnya.
Sri Mulyani pun mengungkapkan adanya pengenaan pajak karbon merupakan sebuah sinyal yang kuat sebagai komplemen atau pelengkap dari mekanisme pasar karbon. Pajak karbon tertuang dalam undang-undang harmonisasi perpajakan.
"Pajak karbon adalah sebuah instrumen kebijakan untuk bisa mendorong perilaku dari kegiatan ekonomi terutama sektor swasta, agar makin memasukkan atau menginternalisasi konsekuensi dari kegiatan ekonominya dalam bentuk carbon emission di dalam hitungan investasi mereka," ungkapnya.
Menurutnya pajak karbon menjadi instrumen baru bagi kementerian keuangan. Maka pihaknya akan terus berkomunikasi, dan berdiskusi dengan seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan termasuk dunia usaha.
“Supaya pajak karbon dapat dipergunakan dengan benar dan bisa meningkatkan keinginan untuk melakukan investasi bidang-bidang yang ramah lingkungan low carbon emission atau menurunkan existing carbon emission,” ucapnya.