EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) membuka pelatihan 1,5 juta petani dan penyuluh yang akan digelar sepanjang tahun ini. Adapun pelatihan tersebut akan fokus pada strategi antisipasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim yang saat ini kerap kali menghambat proses produksi.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mengatakan para petani, penyuluh, dan insan pertanian lainnya harus terus meningkatkan wawasan, kapasitas, dan kemampuan. Karena itu, berbagai pembinaan dan pelatihan digelar Kementan.
"Sehingga petani dan penyuluh dapat menjawab tantangan perkembangan dunia pertanian, terutama terkait teknologi untuk beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim," ujar Syahrul saat membuka Pelatihan Sejuta Petani dan Penyuluh 2022 secara virtual, Rabu (23/2/2022).
Ia mengatakan, pada tahun ini, masyarakat dunia masih berjuang untuk bangkit dari Pandemi Covid-19 namun dihadang dengan gelombang ketiga pandemi Covid-19 dan kita belum diketahui kapan akan usai.
Namun, di satu sisi, dunia menghadapi perubahan iklim yang menjadi tantangan seluruh dunia untuk membangun pertanian. Kementan pun bertanggung jawab menjaga kecukupkan pangan bagi 273 juta penduduk Indonesia.
"Bukan hanya kecukupan pangan, tapi juga gizi agar tercipta generasi yang cerdas dan zero stunting," katanya.
Dalam masa pemulihan dari pandemi Covid-19, negara-negara G20 juga sepakat mengusung mandat zero hunger di tengah-tengah dampak perubahan iklim yang semakin terasa. Pada Pertemuan COP-26 di Glassglow dikukuhkan komitmen untuk menekan kenaikan suhu kurang dari 1,5 derjat celcius.
"Karena itu, kita harus berubah dan siap dengan proses antisipasi, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim," tutur Syahrul.
Kementan menilai kesadaran petani maupun para penyuluh terkait dampak perubahan iklim terhadap produktivitas sektor pertanian masih rendah. Karena itu, pemerintah akan lebih fokus mendampingi petani agar bisa menyiapkan antisipasi terkait efek negatif dari perubahan iklim yang mulai terjadi.
"Saya kira memang masih rendah karena isu terkait ini masih baru," kata Kepala BPPSDMP Kementan, Dedi Nursyamsi.
Dedi mengatakan, perhatian pemerintah terhadap dampak perubahan iklim juga baru difokuskan terutama sejak Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi Presidensi G20 untuk sektor pertanian. Karena itu, di tahun ini berbagai program Kementan turut diarahkan terhadap isu tersebut.
"Kita sudah ada berbagai program tpai memang sampai level terbawah belum terlalu paham. Makanya kita coba dampingi petani agar mengerti. Sekaligus paham terkait teknologinya," kata Dedi.
Salah satu upaya meminimalisasi perubahan iklim juga mentitikberatkan pada budidaya pertanian yang ramah lingkungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian. Contohnya dengan pemupukan berimbang menggunakan pupuk organik yang dibuat dari bahan nonkimia.
Hal itu juga tepat dilakukan saat ini mengingat harga pupuk kimia yang terus mengalami kenaikan harga. Sementara, penyediaan pupuk bersubsidi oleh pemerintah juga minim karena tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan.
Menurut perhitungan Kementan, penggunaan pupuk organi bisa mengehmat 15-50 persen penggunaan pupuk kimia. "Kita sudah lama dengungkan pupuk organik bahkan pelatihan-pelatihan yang kita gelar juga menyangkut ini," ujar Dedi.
Ia menuturkan, emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian memang relatif kecil yakni kurang dari 3 persen. Meski demikian, pemerinah sepakat sekecil apapun kontribusinya, tetap harus diturunkan.