EKBIS.CO, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan adanya potensi defisit minyak nabati dunia akibat perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung. Minyak sawit (CPO), sebagai salah satu produk minyak nabati diyakini akan menjadi sasaran negara importir.
Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, menjelaskan, konflik Rusia-Ukraina telah mendorong naiknya harga minyak bumi lebih dari 100 dolar AS per barel. Situasi itu akan menambah beban pemerintah dan negara-negara lain.
"Dalam pasar minyak nabati, pada semester pertama 2022 diperkirakan akan terjadi defisit pasokan, apalagi Ukraina salah satu produsen bunga matahari dan rapeseed sehingga mendorong naiknya harga minyak nabati dan berakibat minyak sawit menjadi harapan utama negara importir," kata Mukti dalam Siaran Pers Gapki, Kamis (11/3/2022).
Oleh sebab itu, Mukti mengatakan, pemerintah perlu mengatur secara bijak penggunaan minyak sawit domestik dan ekspor minyak sawit. Hal itu demi menjaga neraca perdagangan nasional.
Adapun, bagi pekebun, ia menuturkan peningkatan efisiensi dan produksi merupakan dua hal yang harus terus menerus diupayakan.
Sementara itu, selama Januari 2022, Gapki mencatat adanya penurunan produksi CPO serta minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) sepanjang Januari 2022. Seiring dengan penurunan produksi, terdapat penurunan ekspor.
Produksi CPO pada Januari 2022 diperkirakan sekitar 3,86 juta ton, turun sekitar 3 persen dari produksi Desember 2021. Adapun, produksi PKO mencapai 365 ribu ton atau turun 3,9 persen dari bulan sebelumnya.
Adapun untuk kinerja ekspor sawit di bulan yang sama sebanyak 2,17 juta ton. Volume ekspor tersebut turun 11,4 persen dari Desember 2021 juga turun 23,8 persen dari capaian ekspor bulan Januari 2021 lalu.
"Penurunan ekspor di bulan Januari dari Desember merupakan pola musiman. Tapi kali ini juga diperkirakan karena produksi yang sangat terbatas dan harga yang sangat tinggi," katanya.