EKBIS.CO, JAKARTA -- Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menaikkan domestic market obligation (DMO) minyak sawit dari 20 persen menjadi 30 persen. Pasalnya, kebijakan itu dinilai akan mengganggu ekosistem industri persawitan nasional.
Ketua Umum GIMNI, Sahat Sinaga, menjelaskan, kebijakan DMO yang sebelumnya sebesar 20 persen dari total ekspor CPO sudah sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng nasional. Pasalnya, tercatat saat ini telah terkumpul pasokan minyak goreng hasil DMO 20 persen sebanyak 415,7 ribu ton atau lebih dari kebutuhan satu bulan sekitar 327 ribu ton.
"Menurut kami tidak perlu DMO 30 persen, cukup 20 persen," kata Sahat dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/3/2022).
Ia menjelaskan, dengan dinaikkannya DMO menjadi 30 persen, maka stok minyak sawit domestik akan terus bertambah. Sementara, kapasitas tangki penyimpanan terbatas.
Hingga kini, total volume penyimpanan minyak sawit secara nasional telah mendekati 5,4 juta ton. Sementara, kapasitas tangki hanya mencapai 6 juta ton. Kapasitas yang terbatas itu, jika terus dipasok dari kebijakan DMO tentu akan membuat rantai industri bermasalah.
Sementara, jika produsen CPO tidak melaksanakan DMO, mereka tidak dapat melakukan ekspor karena persetujuan ekspor diberikan jika DMO telah dijalankan.
"Kalau sudah begini maka saya prediksi di bulan April akan sulit di proses berikutnya dan (permintaan) tandan buah segar (TBS) petani akan lesu," kata Sahat.
Sahat pun menjelaskan, dari luas lahan kebun sawit mencapai 16,38 juta hektare, proyeksi minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) diperkirakan mencapai 53,77 juta ton.
Adapun, untuk kebutuhan domestik untuk makanan 9,3 juta ton, oleokimia 2,1 juta ton, dan bahan bakar biodiesel 8,1 juta ton sehingga total kebutuhan domestik mencapai 19,6 juta ton. Jumlah itu setara 36,4 persen dari total produksi domestik. Sisanya, sebanyak 63,6 persen diekspor.
Dengan kata lain, kata Sahat, kebutuhan minyak sawit untuk kebutuhan pangan, terutama minyak goreng hanya 10 persen dari total produksi sawit nasional. "Jadi apa? Kita tidak perlu khawatir sebetulnya dan membuat kita bingung sehingga pasar menjadi chaos," ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Riset CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengakui harga minyak goreng saat ini telah turun sesuai harga eceran tertinggi (HET). Namun, barang menjadi langka terutama setelah kebijakan DMO 20 persen diterapkan. "Masalahnya sekarang harga turun tapi barang tidak ada, sementara sebelum kebijakan DMO, harga naik tapi barang masih ada," kata Faisal.
Ia mengatakan, kebijakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan DMO sejatinya baik untuk memastikan kecukupan pasokan minyak goreng dalam negeri. Hanya saja karena mekanisme kebijakan dan pemantauan yang lemah justru tidak efektif dan bahkan merugikan.
"Ini menjadi pertanyaan, DMO cocok atau tidak? Kalau dengan 20 persen saja sudah memenuhi, ketika dinaikkan 30 persen ini malah bisa menjadi masalah," kata dia.