EKBIS.CO, JAKARTA -- Lembaga keuangan syariah (LKS) lebih maju dalam penerapan keuangan berkelanjutan dibandingkan lembaga konvensional. Industri dapat memanfaatkan branding-nya tersebut untuk pengembangan keuangan ESG atau Environment, Social, dan Governance.
Direktur Pusat Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Indonesia, Rahmatina Awaliah Kasri menyampaikan konsep keuangan berkelanjutan dan ESG memiliki semangat dan kesamaan dengan konsep ekonomi keuangan syariah. Dalam praktiknya, keuangan Islam mematuhi tujuan dan sasaran syariah yang tumpang tindih dengan fokus ESG.
"Pelaksanaan ESG oleh LKS di Indonesia sudah dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti pembentukan peta jalan dan regulasi, komitmen perusahaan, produk, dan program yang sesuai," katanya dalam Webinar Kesiapan Industri Jasa Keuangan Syariah dalam Mendukung Keuangan Berkelanjutan yang digelar OJK Institute, Kamis (17/3).
Secara global, adanya korelasi positif antara ESG dengan keuangan syariah membuat LKS memiliki skor ESG yang secara rata-rata lebih tinggi enam persen dibanding perusahaan non syariah. Ini karena kriteria keuangan yang diterapkan dalam skrining syariah telah sesuai dengan ESG.
Untuk sektor non keuangan, selisihnya bahkan naik menjadi 10 persen. Skor ESG untuk perusahaan sesuai syariah berkisar tiga persen lebih tinggi untuk tata kelola, 7,3 persen lebih tinggi untuk lingkungan, dan tujuh persen lebih tinggi untuk sosial.
"Kepopuleran ekonomi dan keuangan syariah bisa digunakan untuk mempromosikan konsep dan praktik ESG," katanya.
Rahmatina mengatakan ESG memiliki peluang besar untuk diterapkan pada LKS di Indonesia. Konsep ESG yang selaras dengan konsep dan praktik ini juga memberikan korelasi positif pada keuntungan perusahaan.
Menurut studi global dari Oxford Sustainable Finance Group 2020, implementasi ESG mampu meningkatkan kinerja bisnis perusahaan hingga 88 persen. Juga membuat harga saham emiten perusahaan tumbuh sebesar 80 persen.
Meski demikian, tetap ada tantangan dalam penerapan ESG. Antara lain biayanya yang lebih mahal, keterbatasan produk, regulasi dan insentif, kapasitas dan sumber daya, dan permintaannya yang masih rendah.
"Pemberian insentif kepada perusahaan yang menerapkan ESG ini sangat diperlukan, misal dengan keringanan pajak, apresiasi, dan melakukan penyelarasan dengan kinerja perusahaan," katanya.
Ia mengatakan, diperlukan inisiatif dan strategi yang tepat untuk mendorong pelaksanaan ESG, khususnya di LKS. Antara lain terkait regulasi untuk meningkatkan transparansi dan adopsi, diberikan insentif, adanya inovasi melalui riset dan kolaborasi, serta peningkatan literasinya.
Di Indonesia sendiri, instrumen keuangan berkelanjutan terus berkembang. Sudah diterbitkan obligasi hijau sebesar 2,26 miliar dolar AS, pembiayaan/kredit berkelanjutan sebesar 55,9 miliar dolar AS, dan blended finance sebesar 3,27 miliar dolar AS.
Principal Investment Officer IDB Group, Muhammad Adnan Hasan mengatakan produk-produk ESG kini semakin banyak diburu oleh para investor global. Ini membuat penerbitan produk terkait ESG meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Diproyeksikan investasi hijau tahunan akan mencapai satu triliun dolar AS untuk pertama kalinya pada 2021. Per 2020, investasi hijau tercatat 732,1 miliar dolar AS. Untuk ESG dalam bentuk investasi syariah didominasi oleh produk sukuk.
Pada 2019, green sukuk telah mencapai 4,4 miliar dolar AS yang diluncurkan Indonesia dan sejumlah negara Timur Tengah. Menurutnya, ada banyak inisiatif peluncuran produk investasi berkelanjutan, khususnya untuk mendorong masa pemulihan pandemi.
"Di Indonesia sendiri, ini bisa digunakan untuk proyek Ibu Kota Negara baru yang akan mengusung konsep berkelanjutan, maka produk pendanaannya harus sesuai," katanya.
Per Juni 2021, Indonesia sendiri menyumbang 23,11 persen penerbitan sukuk global. Pada 2019, Indonesia dan Dubai holding group Majid Al Futtaim mengeluarkan green sukuk pertama dengan total dua miliar dolar AS. Pada masa pandemi Juni 2020, Indonesia juga meluncurkan lagi green sukuk sebesar 750 juta dolar AS untuk penanganan pandemi.